Sabtu, 16 Juni 2012

Satu Dhamma


Satu Dhamma



Selama ini, kita mengenal adanya 2 tradisi besar dalam agama Buddha yaitu tradisi Theravada dan tradisi Mahayana yang seakan-akan berbeda, padahal keduanya adalah sama, yaitu sama-sama membawa kita mengapai kebahagiaan hingga akhirnya tercerahkan.

Sulitnya menerima perbedaan yang ada kadang justru menimbulkan perselisihan, padahal tanpa disadari kita sebenarnya hidup dalam perbedaan itu sendiri. Sebenarnya bila kita dapat melihat perbedaan itu, maka akan timbul keasikan tersendiri karena justru dari perbedaan itulah kita bisa saling menunjang, saling bekerjasama dimana masing-masing menjalankan tugasnya sendiri-sendiri. Salah satu contohnya adalah tangan kita, bila diamati sebenarnya kedua tangan kita berbeda dan memiliki perannya masing-masing. Bila tangan kanan memang sendok sewaktu makan, maka tangan kiri menjalankan perannya memegang garpu. Bukankah itu adalah suatu hal yang indah? Coba bayangkan apa jadinya bila kedua tangan kita persis sama, misalnya kedua-duanya hanya tangan kanan atau kedua-duanya hanya tangan kiri..?

Begitu juga sebenarnya dengan keanekaragaman aliran agama yang ada. Semestinya kita bisa menerima bahwa aliran agama Buddha ini meskipun berbeda, juga menjalankan peran dan bidangnya masing2, tujuannya sama-sama mengarahkan kita menjadi manusia yang lebih baik hingga tercerahkan. Jika kita memandang perbedaan ini secara seimbang dengan melihat dari saat petapa Gotama mencapai mencapai pencerahan dibawah pohon Bodhi sebagai titik nol, maka tradisi Theravada (dari India ) menggunakan titik dimana Sang Buddha mencapai kesucian sebagai titik nol dan ke depan, sedangkan tradisi Mahayana (dari Tiongkok – dan menyebar lagi ke Tibet sebagai aliran Vajrayana) menggunakan titik Sang Buddha mencapai kesucian sebagai titik nol dan ke belakang.

Oleh karena itulah dalam tradisi Theravada lebih banyak diajarkan khotbah-khotbah Sang Buddha yang dibabarkan setelah Beliau mencapai pencerahan, sedangkan Mahayana lebih menitikberatkan ajarannya tentang Bodhisatta, tentang pengumpulan kebajikan/ menyempurnakan parami-parami. Karena sebelum pangeran Siddharta mencapai Buddha, beliau juga seorang Bodhisatta dan jadi inilah yang diajarkan dalam aliran dari Tiongkok. Dengan kata lain, kedua tradisi yang berbeda ini pembahasannya tetap sama, hanya sudut pandang saja yang berbeda. Tetapi intinya tetap sama, karena keduanya menceritakan riwayat hidup Sang Buddha, hanya saja yang satu lebih banyak mengajarkan waktu sebelum pangeran Siddharta menjadi Buddha sedangkan yang satunya lagi lebih banyak mengajarkan waktu setelah pangeran Siddharta menjadi Buddha.

Meski demikian, anda tidak akan pernah menemukan ada dari kedua tradisi besar agama Buddha yang mengajarkan menurut pribadi-pribadi yang lain selain sang Buddha. Tidak akan pernah ada yang mengajarkan “Kalo menurut Si Budi atau Si Christine...” tetapi pastinya semua yang diajarkan dalam agama Buddha adalah “Menurut Buddha....”

Dengan kata lain, boleh dikatakan bahwa tradisi yang ada sama-sama mengajarkan Satu Dhamma yang tidak mungkin berbeda, yaitu Empat Kesunyataan Mulia , yang isinya adalah Hidup berisi ketidakpuasan, ketidakpuasan itu ada sebabnya, sebab itu bisa dihilangkan sehingga orang bisa mencapai kebahagiaan sejati dan cara mengatasi ketidakpuasan yang disebabkan oleh keinginan yang disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tidak mungkin ada akan mengatakan bahwa Kesunyataan Mulia ada 5, atau pula mengatakan bahwa Jalan Mulia berunsur Sembilan.

Kita memilih tradisi karena kecocokan, jadi janganlah karena memilih tradisi yang satu kemudian mengatakan tradisi yang lain salah. Selama aliran atau tradisi itu mengajarkan Empat Kesunyataan Mulia, Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan Hukum Karma, maka itulah Buddha Dhamma. Yang juga harus kita ketahui dengan pasti bahwasannya Dhamma atau ajaran dari semua Buddha adalah Sama, tidak mungkin berbeda dan itulah sebabnya hanya ada 1 Dhamma.

Sekali lagi, inilah yang dinamakan perbedaan yang indah itu, yang dapat menambahkan seni dalam kehidupan kita. Kelihatan beraneka, namun di dalamnya tetap hanya ada 1 Dhamma (Kebenaran). Bagaikan gelas yang dibuat dengan berbagai macam bentuk dan motif, namun sesungguhnya itu tetap sebuah gelas yang fungsinya sama, hanya kita sendiri yang melihatnya sebagai berbeda dan menjadi kompleks. Begitu juga dengan kedua tradisi yang berbeda, pikiran kita sendirilah yang melabelinya dengan berbagai macam merk.

Janganlah puas menjadi umat Buddha yang hanya percaya dengan membaca buku-buku, kitab suci atau mendengar Dhammadesana dari Bhikkhu Sangha. Tetapi setelah percaya kita juga harus EHIPASSIKO dengan mempraktekkan sendiri ajaran Buddha itu sehingga bila terbukti kita baru bisa yakin.

(Dikutip dari B+Magz Edisi 7 Bulan Agust-Sept 2008)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar