Memang
adalah suatu fakta/kenyataan dari hidup ini bahwa pada suatu saat kita pasti
akan berpisah dengan apa yang sangat dicintai, juga akan berpisah dengan
jasmani kita sendiri. Apabila seorang yang sangat dicintai meninggal, kita akan
merasa sangat sedih dan sangat sukar rasanya mengatasi kesedihan ini. Tetapi
ajaran Sang Buddha dapat menolong kita mengatasi kesedihan ini dengan jalan
berusaha melihat kenyataan dari apa sebenarnya keadaan hidup dan kehidupan ini.
Dalam
kitab Visuddhi Magga, Bab VIII, 39; kita dapat membaca tentang bagaimana
pendeknya waktu dari proses hidup dan kehidupan ini. Bahwa menurut kebenaran
mutlak atau kebenaran tertinggi, sesungguhnya proses hidup dan kehidupan itu
berlangsung sangat pendek dan cepat sekali, hanya persis sesaat dari keadaan
satu saat kesadaran yang muncul sekejap dan kemudian segera lenyap. Sama
seperti sebuah roda kereta yang berputar, menggelinding hanya pada satu titik
demi satu titik dan bila berhenti menggelinding, berhenti hanya pada satu
titik. Demikian pula proses dari hidup dan kehidupan ini berlangsung hanya pada
satu saat kesadaran yang muncul sesaat dan kemudian segera lenyap.
Dengan
demikian berarti kita sesungguhnya telah mengalami kematian/perubahan setiap
saat, atau lahir dan mati setiap saat. Apabila kesadaran yang timbul-lenyap
timbul-lenyap sangat cepat ini telah berhenti, maka proses hidup dan kehidupan
ini dikatakan telah berhenti. Senang, susah, sedih, gembira, dan seterusnya
hanya muncul bersama kesadaran yang timbul-lenyap timbul-lenyap sangat cepat
ini. Tiada dunia atau hidup dan kehidupan bisa muncul apabila tiada kesadaran
muncul. Apabila proses kesadaran muncul, di situ muncul pula proses hidup dan
kehidupan. Apabila proses kesadaran berhenti maka proses hidup dan kehidupan
disebut berhenti pula.
Apa
yang kita namakan mati sesungguhnya tiada berbeda dengan proses timbul-lenyap
timbul-lenyap dari satu saat kesadaran. Tiap-tiap saat kesadaran yang muncul,
segera lenyap secara utuh, tetapi menyebabkan atau mengkondisikan timbulnya
saat kesadaran yang baru, yang segera lenyap pula, demikian seterusnya dan
seterusnya. Kesadaran akhir dari kehidupan ini, apa yang dinamakan saat
kesadaran kematian atau cuti-citta, begitu ia lenyap segera digantikan
oleh saat pertama dari kesadaran akan kehidupan berikutnya yang dinamakanpatisandhi-citta.
Di situ tidak terdapat sang aku pada setiap proses hidup dan kehidupan ini, dan
betul-betul tidak ada sang aku atau sang roh yang mengembara dari kehidupan
yang lalu, sekarang, atau kehidupan yang akan datang.
Adalah
semata-mata kebodohanlah yang membuat kita berpikir bahwa badan jasmani dan
batin ini adalah kekal. Kita sangat melekat pada badan jasmani dan batin ini
dan menganggapnya sebagai aku dan milikku. Kita berpendapat bahwa sang akulah
yang melihat, mendengar, merasa, berpikir, dan bergerak ke mana-mana. Melekat
pada sang aku inilah yang menyebabkan dukkha. Sang aku menginginkan dan
berkhayal akan mengalami awet muda untuk waktu yang sangat panjang, tetapi
apabila kita mengalami masa tua, sakit, dan mendekati kematian; kita merasa
sedih, takut, cemas, seolah-olah tidak terima sama sekali. Mereka yang bodoh
dan tidak mengerti akan fakta dan kenyataan dari hidup dan kehidupan ini, tidak
akan bisa mengerti bahwa penderitaan bersumber dan berasal dari kemelekatan,
seperti apa yang dijelaskan dalam Kebenaran Mulia Kedua tentang sebab dari
derita. Kita seyogyanya berusaha menginsafi secara benar-benar bahwa segala
sesuatu yang disebut jasmani dan batin ini adalah anicca, dukkha, anatta,
sunnata, tathata, dan idappaccayata. Sang Buddha menunjukkan tentang
ketidak-kekalan segala sesuatu (jasmani dan batin) dengan berbagai macam jalan
dan cara. Beliau mengajarkan ketidak-kekalan dari jasmani ini untuk menolong
kita agar tidak melekat pada pandangan keliru tentang "badanku atau badan
ini adalah kepunyaanku". Beliau mengajarkan cara bermeditasi pada
kekotoran, kebusukan, dan keburukan dari jasmani ini, dengan bermeditasi pada
mayat dalam berbagai tingkat kehancuran, kita dapat membaca di dalam Maha
Satipatthana Sutta, Digha Nikaya: "Dan lagi, O, para bhikkhu,
sebagai bhikkhu seharusnya berusaha bisa melihat satu mayat yang ditaruh di
kuburan, mati baru sehari atau dua hari, tiga hari, lalu membengkak, warnanya
berubah, terpecah-pecah, kemudian merenungkan bahwa jasmani sendiri juga adalah
secara alamiah sama, pasti akan mengalami kematian".
Didalam
Visuddhi Magga, Bab VI, 88, dijelaskan bahwa jasmani ini juga sama kotornya,
busuknya, buruknya seperti mayat; hanya sifat dari kebusukan, keburukannya,
tidak terang jelas dan tampak nyata pada jasmani yang masih hidup ini karena
disembunyikan oleh berbagai hiasan alamiah dan hiasan buatan manusia sendiri
yang sangat lihay. Untuk membuktikan jasmani yang masih hidup ini penuh dengan
kekotoran, kebusukan, kuburukan, Sang Buddha mengajarkan apa yang tercantum
pada Maha Satipatthana Sutta sebagai berikut: "Dan lagi, O, para
bhikkhu, seorang bhikkhu seyogyanya merenungkan secara teliti bahwa jasmaninya
sendiri terbungkus oleh kulit dan penuh dengan bermacam-macam kekotoran,
kebusukan, keburukan dari telapak kaki naik ke atas dan dari ujung kepala turun
ke bawah. Bahwa pada jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku,
kulit, daging, sumsum, tulang, ginjal, hati, limpa, dan seterusnya".
Juga
kita harus selalu merenungkan bahwa jasmani ini terdiri atas empat unsur pokok,
yaitu:
1.
|
Unsur
tanah yang muncul dalam sifat padat/keras dan lembut/halus.
|
2.
|
Unsur
cair yang muncul dalam sifat cair atau perekat.
|
3.
|
Unsur
api yang muncul dalam sifat panas dan dingin.
|
4.
|
Unsur
angin yang muncul dalam sifat gerak dan tekanan.
|
Keempat
unsur pokok ini, apakah mereka berada dalam mayat atau dalam badan yang masih
hidup, adalah sama. Itulah sebabnya mengapa perenungan terhadap kekotoran,
kebusukan, dan keburukan jasmani, dan merenungkan jasmani ini yang terdiri atas
keempat unsur pokok tersebut di atas yang berbeda-beda sifatnya, sangat
menolong kita untuk tidak melekat lagi pada jasmani ini dan tidak lagi menganggap
jasmani ini sebagai milikku dan kepunyaanku. Memang bukanlah suatu keharusan
atau paksaan bagi seseorang untuk selalu sadar akan proses batin dan jasmani
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kita juga seyogianya
mempertimbangkan baik-baik apa sebenarnya yang menjadi tujuan kita. Apakah kita
terus-menerus ingin menjadi orang bodoh, penuh dengan kemelekatan dan
menganggap secara kokoh dan fanatik bahwa proses jasmani dan batin adalah
tergolong aku dan kepunyaanku? Apakah kita tetap menginginkan hidup dalam
kegelapan ataukah kita ingin mengembangkan kebijaksanaan untuk bisa mengakhiri
dukkha? Apabila kita memilih sang jalan untuk mengakhiri dukkha, kita harus
mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti apabila
kita sedang duduk, berdiri, berjalan, bekerja, dan seterusnya, apabila kita
sedang mendengar, membaui, mengecap, menyentuh, merasa, berpikir, senang,
susah, rindu, cemas, dan seterusnya; ketahuilah, maklumilah bahwasanya kesemua
proses jasmani dan batin ini adalah hanya gejala/fenomena jasmani dan batin
yang timbul sekejap, di situ ia timbul, di situ pulalah ia segera lenyap. Ia
timbul karena adanya sebab dan syarat dan ia segera lenyap, tetapi menjadi
sebab dan syarat pula bagi timbulnya proses batin dan jasmani yang baru.
Inilah
satu-satunya jalan untuk bisa merealisasi bahwa segala sesuatu yang disebut
batin dan jasmani adalahanicca, dukkha, anatta, sunnata, tathata, dan idappaccayata.
Dengan jalan ini kebodohan dan kemelekatan dapat diatasi. Tetapi kebodohan dan
kemelekatan itu tidak bisa dihancurkan secara total dalam waktu yang singkat.
Ia baru dapat dihancurkan secara total apabila seseorang telah mencapai
kesucian tertinggi tingkat Arahat. Pada waktu sang Buddha wafat mencapai
parinibbana, para bhikkhu yang masih punya kebodohan dan kemelekatan menangis
sedih dan berguling-guling di atas tanah, tetapi para bhikkhu yang kebodohan
dan kemelekatannya telah hancur, melihat wafatnya Sang Buddha sebagai peristiwa
yang wajar dan alamiah saja. Mereka penuh pengertian.
Marilah
kita mengenang kembali sabda Sang Buddha kepada Ananda ketika Sang Buddha
mendekati waktu wafatNya mencapai Parinibbana sebagai berikut: "Ananda,
jadilah pulau bagi dirimu sendiri, pelindung bagi dirimu sendiri, jangan
mencari perlindungan di luar, dengan Dhamma sebagai pulaumu, Dhamma sebagai
pelindungmu, tidak mencari perlindungan lain. Dan bagaimana Ananda, seorang
bhikkhu menjadi pulau bagi dirinya, perlindungan bagi dirinya, dengan Dhamma
sebagai pulaunya, Dhamma sebagai pelindungnya, tidak mencari perlindungan
lainnya? Bila ia mengembara merenungkan jasmani di dalam badan jasmaninya
dengan sungguh-sungguh disertai dengan pengertian yang jelas, terang, dan
dengan penuh kesadaran, setelah mengatasi nafsu keinginan dan duka cita dalam memandang
pada dunia, hidup dan kehidupan ini, ia mengembara merenungkan perasaan di
dalam perasaannya, pikiran di dalam pikirannya, dan obyek mental di dalam obyek
mental". Ini berarti tidak merenungkan adanya sang aku di dalam badan,
perasaan, pikiran, dan obyek mental. Inilah cara satu-satunya untuk dapat
melihat kebenaran tertinggi dari apa adanya yang sebenarnya dari proses batin
dan jasmani, yaitu Anicca, Dukkha, Anatta, Sunnata, Tathata, dan Idappaccayata;
pengertian mana yang dapat mengatasi kebodohan dan kemelekatan, mengatasi
dukkha, dan mengatasi kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar