DHUTANGA
DALAM AGAMA BUDDHA
oleh : Sunaryo
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jauh sebelum Buddha muncul di dunia
ini, terdapat latihan pertapaan yang dirancang dengan menyiksa tubuh dalam
berbagai macam cara. Mereka yang menjalankannya percaya bahwa mereka akan
terbebas dari penderitaan sebagai makhluk hidup. Di sisi lain, yang lain
percaya bahwa tujuan tertinggi dari suatu keberadaan adalah terletak pada
mengetahui bagaimana untuk menikmati kehidupan sepenuhnya dan memusatkan
seluruh usaha mereka dalam menikmati kesenangan indria.
Dari awal mula ajaran-Nya, Buddha
menolak dengan pasti kedua jalan ini yang beliau nilai sebagai “jalan ekstrem”. Dalam ajaran-Nya,
beliau menjelaskan bahwa hanya jalan yang moderat,”jalan tengah”, yang dapat membimbing
kita pada pengembangan kebijaksanaan dan pengetahuan benar tentang realita.
Kedua jalan ekstrem ini mengembangkan, bagi mereka, kemelekatan dan pandangan
salah, yang bertentangan dengan jalan moderat yang dapat mengurangi kemelekatan
dan mengembangkan pandangan benar.
Perilaku hidup yang diterapkan oleh
Bhagava untuk para bhikkhu dan bhikkhuni (patimokkha), untuk samanera (10 sila)
dan untuk umat awam (5 atau 8 sila) adalah panduan cukup bagi siapa pun yang
dengan baik sekali melatih dalam satipatthana. Bagi mereka yang ingin lebih
cepat atau mudah untuk mencapai Nibbana, beliau juga mengajarkan satu set
latihan pertapaan yang mana tidak wajib (13 aturan dhutanga yang tidak termasuk
ke dalam vinaya), yang memungkinkan untuk mengurangi kebutuhan seseorang hingga
sesedikit mungkin, sehingga melindungi , orang yang mempraktikkan latihan ini,
dari kesombongan, keserakahan, kemalasan yang merupakan racun-racun utama dalam
jalan pembebasan (hanya dengan berlatih dhutanga tertentu dalam kehidupan
sehari-hari, kita dapat benar-benar mengerti fakta ini; hasil yang
mengesankan).
Dhutanga tidak dirancang bagi makhluk
yang tinggi, maupun makhluk yang rendah. Latihan ini bermanfaat bagi mereka
yang melatihnya. Dhutanga bukanlah latihan yang ekstrem; ini hanyalah latihan
yang memungkinkan pikiran untuk dimurnikan dengan cepat dan mudah, prasyarat
mutlak bagi pengembangan perhatian dan konsentrasi. Hal tersebut mengurangi
rintangan yang tidak berguna, misalnya ketamakan akan makanan, sejumlah pakaian
yang harus dirawat, kekacauan di tempat tinggal, dan berbagai macam kemelekatan
lainnya. Dengan menjalankan latihan ini dengan baik, tidak ada dhutanga yang
menimbulkan kelelahan dan tekanan pada tubah atau pikiran. Jika dhutanga
melibatkan kesulitan besar atau usaha sulit pada seseorang, maka sebaiknya ia
tidak melatihnya, sebagaimana hal ini akan menjadi latihan ekstrem bagi
dirinya.
Setiap orang bebas, sesuai dengan
kemampuan dan keinginannya, untuk melatih satu atau beberapa praktik dhutanga,
yang masing-masing meliputi tiga tingkat pembatasan. Tujuan dari
latihan-latihan ini terletak pada menyediakan lingkungan yang memungkinkan
untuk melakukan hidup pertapaan.
Dengan demikian, 13 dhutanga, yang
berarti “pelepasan” meninggalkan (dhuta); keadaan batin (anga), merupakan satu
paket latihan yang dirancang untuk benar-benar mengurangi kemelekatan kita,
dengan tujuan untuk mencapai Nibbana dengan segera, seperti burung yang
melintasi langit tak berawan pada garis lurus.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Pengertian
Dhutanga?
2. Bagaimana 13 Dhutanga?
3. Bagaimana Lima macam motivasi?
4. Bagaimana Lima faktor yang
sebaiknya dikembangkan oleh seorang pelaksana dhutanga?
5. Bagaimana Prosedur
mengadopsi dhutanga?
6. Bagaimana Dhutanga yang
dilatih berdasarkan status?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
1. Menjelaskan Pengertian
Dhutanga.
2. Menjelaskan 13 Dhutanga.
3. Menjelaskan Lima macam motivasi.
4. Menjelaskan Bagaimana Lima faktor yang sebaiknya dikembangkan oleh seorang pelaksana
dhutanga.
5. Menjelaskan Prosedur
mengadopsi dhutanga.
6. Menjelaskan Dhutanga yang
dilatih berdasarkan status.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dhutanga
Dhutanga adalah
latihan-latihan untuk meraih kesucian, tetapi bukanlah sila dan tidak
dimasukkan ke dalam bahasan sila. Mereka dibicarakan dalam pokok bahasan
sendiri dan karena dekat dengan sila, dhutanga dibahas segera setelah
pembahasan sila.
Dhutanga yang dilakukan dalam hidup
keagamaan, dijelaskan
dalam tiga penafsiran. Pertama, disebut
dhutanga karena dilaksanakan oleh petapa untuk mencapai kesucian. Kedua,
pengetahuan pensucian bentuk-bentuk kekotoran batin bagian
dari latihan, dan ketiga adalah
merupakan jalan untuk melepaskan kekotoran batin.
Dalam Visudhimagga
semua dhutanga dijelaskan dengan lima matika. Masing-masing
terdiri dari: samadana (metoda
me-nyatakan tekad), vidhana (sasaran-sasaran
dan persyaratan), pabheda (tingkat
berat-ringan), bheda (pelanggaran),
dan anisamsa (manfaat).
Samadana menjelaskan
bagaimana seharusnya seorang bhikkhu melaksanakan suatu dhutanga. Dalam setiap kasus,
dia membuat dua pemyataan. Kemudian ia harus
melakukan dhutanga dengan mengacu kepada salah satu dari pernyataan tadi.
Misalnya, pamsukulikanga, ia
harus melaksanakannya dengan mengacu kepada salah satu dari pemyataan berikut:
"Saya menolak jubah yang diberikan oleh perumah tangga" atau
"Saya melaksanakan latihan pemakai pakaian yang dibuang".
Vidhana memberikan
sasaran dan kondisi pelaksanaan suatu dhutanga. Jadi, dalam kasus
pamsukulikanga aturan menunjuk kepada sifat dari kain yang boleh dipungut oleh
bhikkhu untuk dibuatkan jubahnya.
Pabheda menjelaskan
berapa tingkat berat-ringan suatu dhutanga. Dalam setiap kasus, disebutkan ada
tiga tingkat: akkattha (keras),
majjhima (madiya), dan muduka
(lunak). Bheda
menjelaskan dalam kondisi-kondisi bagaimana pelanggaran dhutanga terjadi.
Anisamsu menjelaskan
manfaat-manfaat melaksanakan dhutanga. Setiap dhutanga mempunyai manfaat
sendiri, namun semuanya membawa kepada manfaat yang sama dalam hubungannya
dengan garis keturunan Keluarga Ariya (ariya vamsa) yang
memiliki ciri: sedikit kebutuhan (appicchata) puas
dengan apa adanya (santutthita), pelenyapan
kekotoran batin (sallekhata), mengembangkan
ketidakmelekatan (pavive-kata).
Dhutanga tidak terdapat dalam Sutta
Pitaka. Akan tetapi, beberapa yang termasuk
dhutanga disebutkan dalam beberapa sutta seperti sapadanacari,
pindapatika, pamsukulika, abho-kasika, arannanika, dan
pantasenasanika.
Dalam kitab Vinaya
V( 131 dan 193) dimuat daftar 13 dhutanga, namun tidak
termasuk dalam vinaya. Di dalam Niddesa disebutkan
delapan dhutanga. Di dalam kitab Milinda-panha, yang
disusun oleh Bhikkhu Nagasena, untuk pertama kalinya dibicarakan 13 dhutanga.
Uraian yang luas mengenai dhutanga dapat kita jumpai dalam Vimuttimagga
yang disusun oleh Upatissa Thera dan dalam Visuddhimagga
yang disusun oleh Buddhaghosa.
Dalam batas tertentu dhutanga dapat
dipandang sebagai amalan-amalan yang bersifat tapa (ascetism)
dan bagaimanakah penyesuaian dhutanga dengan Jalan Tengah?
Sang Buddha melihat adanya
kecenderungan bertapa, namun tidak mengajurkan atau mengajarkan dhutanga sebagai peng-amalan yang
harus dilaksanakan oleh setiap bhikkhu. Dalam kitab Samyutta
Nikaya II. 132 dan kitab Anguttara
Nikaya I. 23 disebutkan bahwa Maha Kassapa, salah
seorang dari 80 siswa utama Sang Buddha, adalah yang paling mencolok di antara
para dhutavadin.
Dhutanga dapat dilakukan seseorang
jika dirasakannya bahwa hal itu membawa kemajuan dalam kehidupan keagamaannya.
Beliau mengijinkannya bila dirasakan bahwa amalan itu dapat membantu dalam usaha melenyapkan Masa atau niwarana.
Sang Buddha tidak membenarkan bila
dhutanga terlalu dipentingkan dan menghendaki para bhikkhu agar tidak sesumbar
atas pengamalan dhutanga untuk mencari nama, kehormatan dan keuntungan pribadi.
Seorang bhikkhu diharapkan agar dhutanga dilakukan dengan diam-diam, bahkan
tanpa diketahui oleh sesama temannya.
Pada permulaannya empat nissaya
menjadi keharusan bagi semua bhikkhu. Kemudian berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang praktis ketentuan itu diperlunak. Nissaya
itu adalah:
1.
Hidup
hanya dari pindapata (pindapatikanga).
2.
Memakai
jubah yang terbuat dari cabikan kain atau kain yang telah dibuang (pamsukulikanga).
3.
Berdiam
di bawah pohon-pohon (rukkhamulikanga).
4.
Menggunakan sebagai obat myrobalau
yang diragikan dalam air kencing sapi (putimuttabhesajja).
Suatu ketika Bhikkhu Devadatta datang
kepada Sang Buddha dan meminta agar lima pelaksanaaan kebhikkhuan yang keras
dijadikan keharusan bagi semua bhikkhu. Lima pelaksanaan itu adalah:
1. Mereka harus hidup dalam hutan selama hidup mereka.
2. Hidup di bawah pohon-pohon.
3. Hidup hanya dari pindapata berkeliling saja.
4. Jubah terbuat hanya dari cabikan kain yang telah
dibuang.
5. Harus mumi sayuranis.
Sang Buddha menolak permintaan
Devadatta tersebut di atas, tetapi tidak melarang bila ada yang ingin
melakukannya dan bukan suatu keharusan untuk semua bhikkhu. Peristiwa ini
memperlihatkan bahwa
Sang Buddha tidak menghendaki dhutanga terlalu dipentingkan.
Dari khotbah pertama Sang Buddha Dhammacakkappavattana
Sutta dan
dari bebeberapa sutta lainnya terlihat dengan jelas bahwa Sang Buddha telah
menolak penyiksaan diri (attakila-mathanuyoga) yang
merupakan suatu bentuk bertapa yang ekstrim. Bila dikatakan bahwa Sang Buddha
menolak tapa, maka hal ini tidaklah berarti bahwa beliau menganjurkan pemanjaan
diri (kamasukhalli-kannyoga) yang
merupakan sikap yang ekstrim lainnya. Kedua sikap yang ekstrim tersebut di atas
ditolak oleh Sang Buddha.
Sang Buddha menghendaki agar orang
harus hidup sopan dan hidup layak, bukannya hidup sewenang-wenang. Hidup sehat
dan selalu menambah kebajikan-kebajikan yang mulia dengan kebiasaan-kebiasaan
yang sederhana, bukannya kehidupan yang mewah-megah.
Beliau memandang pikiran yang sehat
di dalam tubuh yang sehat. Oleh sebab itu, Beliau menolak tapa yang berbentuk
penyiksaan diri yang merusak kesehatan dan menekankan pada disiplin kesusilaan.
Dalam Mahasakuladayi
Sutta disebutkan seorang petapa bernama Udayi menyampaikan
pada Sang Buddha bahwa Beliau dijunjung tinggi oleh orang banyak karena hidup
kesuciannya, kemurnian dan kesederhanaannya. Kemudian Sang Buddha menjawab bahwa
dalam hal kesederhanaan ada beberapa bhikkhu yang melebihi Beliau sendiri.
Misalnya, Maha Kassapa yang sangat taat melaksanakan amalan yang sangat berat:
sepanjang hidupnya
ia hanya makan makanan yang diterimanya dari rumah ke rumah; hari-harinya
dilewatkannya di dalam hutan-hutan, sedangkan Sang Buddha kadang-kadang
menerima undangan raja-raja dan berdiam dalam istana-istana.Sebagai
jawaban lebih lanjut kepada Udayi, Sang Buddha mengatakan bahwa para arif bijaksana
menghormati Tathagata karena pencapaianya dalam sila,
samadhi, panna dan di atas segala-galanya karena
pembebasan batin yang tak tergoyahkan lagi (akuppa-cetovimutti).
Dari semua ini dapat kita lihat sikap
Sang Buddha yang berkenaan dengan dhutanga. Di lihat dari sudut
kesederhanaanlah, maka Sang Buddha mengijinkan pelaksanaan dhutanga. Banyak bhikkhu-bhikkhu menjalankan
dhutanga-dhutanga itu semasa Sang Buddha masih hidup. Kemudian dhutanga itu
menjadi populer di antara sebagian bhikkhu dan tradisi itu diturunkan
turun-temurun. Kini hanya sebagian dari dhutanga-dhutanga itu yang masih
dilaksanakan oleh bhikldiu-bhikkhu yang hidup di tempat-tempat pertapaan (hermitages)
dalam hutan-hutan.
B. 13 Dhutanga
Di dalam kitab
Visudhimagga disebutkan dan dijelaskan 13 Dhutanga yaitu :
1.
Pasukulikanga: tekad hanya memakai jubah yang dibuat dari kain
yang telah dibuang di tempat pembungan sampah, tegalan atau di kuburan, atau
tempat-tempat lainnya.
2.
Tecivarikanga: tekad memiliki hanya satu perangkat jubah yang terdiri tiga jubah: sanghati
(jubah luar yang terdiri dari dua lapis), uttarasangha (jubah yang satu lapis),
antaravasaka (sarung).
3.
Pindapattakanga: Tekad
hidup hanya dari dana makanan yang dikumpul dari rumah ke rumah. Dalam tekad
ini, seorang bhikkhu tidak boleh
memakan 14 macam pemberian makanan yang diizinkan dalam vinaya. Makanan yang
diizinkan itu, adalah:
(1)
Makanan yang diserahkan kepada Sangha
(sanghabbattam).
(2)
Makanan yang diserahkan kepada
pribadi bhikkhu (uddesabhattam).
(3)
Makanan yang diserahkan oleh
seseorang (mimantanam).
(4)
Makanan yang diserahkan melalui
kupon (salakabhattam)
(5)
Makanan yang diserahkan setiap bulan
purnama (Pakkhitam).
(6)
Makanan yang diberikan setiap had
Uposatha (upasathathikam).
(7)
Makanan yang diserahkan pada hari
pertama tengah bulan pertama (patipatikam).
(8)
Makanan yang diserakan kepada tamu (agantukabhattam).
(9)
Makanan yang
disediakan untuk kelana (ganikabhattam).
(10)
Makanan yang disediakan untuk orang
sakit (gilanbhatam).
(11)
Makanan yang dimasudkan untuk orang
yang datang melihat orang sakit (gilanupatthakabhattam).
(12)
Makanan yang dimaksudkan untuk Vihara
tertentu (viharabhattam).
(13)
Makanan yang disediakan untuk rumah
utama (dhurabhattam).
(14)
Makanan yang
diberikan sebagai balasan (varabhattam).
4.
Sapadanacarikanga: Tekad
hidup dengan menerima dana dari rumah ke rumah secara berurutan tanpa melewati
satu rumahpun di antaranya karena pertimbangan bahwa rumah yang di lewati itu adalah rumah orang yang
tidak mampu memberi dana makanan sebaik rumah berikutnya yang di diami oleh orang kaya atau yang
mempunyai kedudukan yang tinggi dan sebagainya. Dengan demikian ia tidak memberi
kesempatan kepada orang miskin untuk berbuat kebajikan.
5.
Ekasanikanga: Tekad
memakan makanan tanpa ada selingan. Bila sedang makan, ia berhenti makan dan
berpindah dari tempat duduknya karena sesuatu hal, maka ia tidak akan
melanjutkan makannya lagi atau mengulangi makan sekali lagi.
6. Pattapinikanga: Tekad memakan hanya makanan yang ada dalam satu
mangkok (patta). Segala
macam makanan yang akan dimakan semuanya berada dalam mangkok tersebut, tanpa
menggunakan piring atau mangkok lain sebagai wadah makanan yang akan dimakan.
7. Khalupacchabhattikanga: Tekad tidak makan lagi setelah selesai makan atau
setelah menyatakan maksud menghentikan makan.
8. Aranyikanga: Tekad tinggal hanya di dalam hutan-hutan yang cukup
jauh dari tempat tinggal orang banyak.
9. Rukkhamulikanga: Tekad
untuk berdiam di bawah satu pohon. Pohon itu tidak boleh merupakan tanda batas
dari satu desa, pohon yang berada dalam lingkungan vihara atau tempat ibadah
atau pohon yang berbuah.
10. Abbhokasikanga: Tekad
untuk berdiam di tempat yang terbuka (tegalan).Seorang yang menjalankan
dhutanga ini dan rukkhamulikanga (9)
diizinkan berlindung di tempat yang terlindung pada musim hujan.
11. Sosanikanga: Tekad untuk berdiam di kuburan. Sebidang tanah yang
disediakan untuk perkuburan tapi belum digunakan sebagai kuburan tidak dianggap
sebagai suatu kuburan. Tanah yang telah digunakan sebagai kuburan tetapi telah
ditinggalkan dan tidak digunakan lagi kendatipun setelah selama 12 tahun dipandang
sebagai satu sosana.
12. Yathasantatikanga: Tekad menggunakan tempat tidur atau kursi yang
diberikan padanya tanpa menukarnya dengan yang lebih baik atau jelek.
13. Nesajjikanga: Tekad tidak tidur dengan rebah berbaring pada malam
hari dan tidur dalam sikap duduk. Bhikkhu yang melaksanakan dhutanga ini dapat
juga melewati malam hari dengan sikap berdiri, berjalan (iriyapatha).
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa
setiap dhutanga, masing-masing mempunyai manfaat dan membawa dhutangavadin ke dalam Keluarga
Ariya (ariyavamsa) yang bercirikan: sedikit
kebutuhannya (appichata), mudah
puas (santuthita), melenyapkan kilesa (sallekhata)
dan menipis kemelekatan (pavivekata).
C. Lima macam motivasi
Untuk melatih dhutanga, terdapat
beberapa macam motivasi. Beberapa orang dapat melatih salah satu dari latihan
tersebut untuk suatu tujuan yang buruk, dalam tujuan mengumpulkan
kebanggaan dalam diri mereka sendiri, sedangkan yang lain melatih salah satu
dari latihan ini untuk suatu tujuan yang murni, dengan tujuan menyembuhkan diri
mereka sendiri dari kekotoran batin (kilesa), sama seperti keadaan pikiran
seseorang yang meminum obat. Berikut adalah lima macam motivasi yang
dapat kita bedakan di antara mereka yang melatih salah satu atau lebih
dhutanga:
1.
Karena ketidaktahuan sama
sekali, bahkan tanpa mengetahui keuntungan mereka: hanya karena telah
mendengar bahwa para pelaksana dhutanga adalah cukup terkenal dan dalam hal ini
dapat mengatakan “sayalah, saya melatih dhutanga” dll.
2.
Untuk memperoleh keuntungan
dengan mengembangkan keserakahan, misalnya: untuk memperoleh banyak pemberian,
untuk dianggap baik oleh orang lain, untuk menimbulkan suatu pemujaan yang luar
biasa dari orang lain, untuk menarik murid bagi seseorang, dll.
3.
Karena kegilaan, karena
ketidaktahuan sama sekali, tanpa penyelidikan mengenai hal apa pun.
4.
Karena Buddha dan Para Ariya
memuji latihan semacam itu.
5.
Untuk memperoleh manfaat dengan
keuntungan yang sehat, misalnya: kapasitas untuk berpuas diri dengan yang
sangat sedikit, kelemahan terpaut pada keserakahan, kemudahan dalam memperoleh
hal-hal yang dibutuhkan, ketenangan, ketidakmelekatan, dll.
Buddha tidak menyetujui tiga motivasi
pertama di atas, beliau hanya menyetujui dua motivasi terakhir. Seseorang boleh
kemudian melatih salah satu atau beberapa dhutanga jika dia termotivasi menurut
motivasi ke empat dan ke lima diantara lima macam motivasi di atas. Meskipun demikian,
dhutanga memiliki manfaat yang lebih tinggi jika hal tersebut dilatih menurut
motivasi ke lima, daripada motivasi yang ke empat.
D. Lima faktor yang
sebaiknya dikembangkan oleh seorang pelaksana dhutanga
Seorang pelaksana dhutanga yang sedang
berada pada posisi melakukan latihan-latihan itu (ia berada dalam keadaan
kesehatan yang baik, dll), yang jujur dan yang memiliki Nibbana sebagai akhir
tujuan, adalah berharga untuk dipuja oleh para Brahma, dewa dan manusia.
Ini adalah lima faktor yang sebaiknya
dikembangkan oleh masing-masing pelaksana dhutanga:
1.
Tanpa keserakahan.
2.
Mengetahui bagaimana untuk
merasa puas dengan yang sangat sedikit.
3.
Benar-benar ingin menghancurkan
kilesa.
4.
Tetap tinggal di suatu tempat
tenang.
5.
Tidak ada lagi keinginan
mengenai keberadaan apa pun dalam dunia dan kondisi apa pun (dengan kata lain,
menginginkan Parinibanna).
Faktor pertama adalah menaklukkan
keserakahan. Hal tersebut berperan dalam menghancurkan
keinginan-keinginan indria. Kekuatan yang merupakan yang terakhir dari faktor-faktor
ini adalah objek yang dapat ditumbuhkan dengan menggunakan kebijaksanaan
(panna).
Melalui alobha, kita melenyapkan
praktik yang mengembangkan keinginan indria (kámasukhalliká nuyoga), dan
melalui amoha, kita menghilangkan seluruh praktik yang menindas tubuh
(attakilamathá nuyoga). Buddha memuji mereka yang melaksanakan dhutanga dengan mengembangkan
secara penuh kelima faktor yang telah disebutkan di atas.
Menurut kitab komentar lainnya,
faktor-faktor yang perlu dilatih dalam dhutanga adalah:
1.
saddha, keyakinan, kepercayaan
diri.
2.
hirima, takut atau malu untuk
melakukan perbuatan-perbuatan jahat.
3.
dhitima, tenang, terkendali,
dan berkonsentrasi pada perilaku diri.
4.
akuha, ketidaktertarikan
terhadap ketenaran (karena sesuatu yang kurang baik), kemasyhuran, perhatian pada
kepentingan orang lain.
5.
atthavasi, perealisasian dhamma
sebagai tujuan unik.
6.
alobha, ketidakserakahan.
7.
sikkhakama, berbudi luhur
secara alami dan konstan.
8.
ahasamadana, mencegah diri dari
melalaikan salah satu dari latihan-latihan ini.
9.
anujjhanabahula, tidak
mengkritik orang lain, bahkan jika mereka bersalah.
10.
mettavihari, secara
konstan penuh dengan rasa kasih (kebajikan).
Seorang praktisi serius dhutanga harus
berakar dengan baik sekali ke dalam salah satu dari sepuluh faktor ini. Seorang
praktisi yang mengetahui bagaimana untuk berketetapan pada faktor-faktor ini
berada dalam posisi untuk mencapai Nibbana.
Elemen-elemen yang sebaiknya
dihindari:
1.
Papiccha, menginginkan hal-hal yang tidak sehat/tidak baik.
2.
Icchapakata, menekan pikiran seseorang melalui keinginan-keinginan.
3.
Kuhaka, mencoba untuk menarik perhatian dari orang lain.
4.
Luddha, iri hati, keinginan besar (untuk memiliki sesuatu).
5.
Odarika, secara kasar memikirkan makanan orang lain.
6.
Labhakama, ingin terlibat dalam beberapa persoalan.
7.
Yasakama, ingin memiliki banyak murid, ingin dipuja oleh banyak
orang.
8.
Kittikama, ingin terkenal (dikarenakan sesuatu yang kurang baik),
ketenaran yang luar biasa.
Jika seorang bhikkhu melatih dhutanga
berdasarkan salah satu atau beberapa dari delapan poin ini, ia tentu akan
menjadi subjek kritik dan tidak dihormati. Ia bahkan berisiko
mengalami kecacatan pada kehidupan berikutnya, seperti buruk rupa, cacat fisik,
kekurangan anggota gerak, jika tidak terlahir di alam neraka. Itulah mengapa
seseorang harus berjuang mengembangkan faktor yg diperlukan dan menghindari
faktor yang merugikan.
E. Prosedur mengadopsi dhutanga
Ø Untuk mengambil dhutanga yang seseorang ingin latih, prospek ideal
terletak pada melaksanakannya di hadapan Buddha.
Ø Jika Buddha jauh atau tidak ada lagi, ini sangat bermanfaat untuk
mengambil dhutanga di hadapan Aggasavaka (sebutan yang diberikan pada dua murid
mulia Buddha).
Ø Jika aggasavaka jauh atau tidak ada lagi, kita bisa melakukannya di
hadapan Mahasavaka (sebutan yang diberikan pada 80 murid utama Buddha).
Ø Jika Mahasavaka jauh dan tidak ada lagi, kita bisa melakukannya di
hadapan Arahanta.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di
hadapan Arahanta, kita dapat melakukannya di hadapan Anagami.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di
hadapan Anagami, kita dapat melakukannya di hadapan Sakadagami.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di
hadapan Sakadagami, kita dapat melakukannya di hadapan Sotapana.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di
hadapan Sotapana, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara
sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di
hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka, kita
dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua
dari tiga bagian Tipitaka.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di
hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian
Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna
mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di
hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian
Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna
mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka.
Ø Jika kita dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan
seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian
Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara baik
disyairkan dalam Atthakathas (Komentar).
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di
hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar),
kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang berlatih dhutanga.
Ø Jika tidak ada seorang pun yang hadir, kita dapat melakukannya di
depan cetiya.
Lebih baik melaksanakan satu atau
beberapa latihan dhutanga di hadapan seseorang yang memiliki karakter sila yang
murni. Hal ini akan mendorong kita untuk menjadi lebih baik dalam menjaga
latihan dhutanga dan menghindari untuk melanggarnya. Namun, jika seseorang
ingin mengadopsi dhutanga di luar pengakuan oleh siapa pun, adalah memungkinkan
untuk melaksanakan semuanya sendirian. Beberapa bhikkhu lagipula memutuskan
untuk tidak membiarkan siapa pun tahu mengenai latihan mereka, sehingga secara
kokoh menetapkan dalam dirinya sendiri sebuah tekad untuk tidak melatih
dhutanga yang didorong oleh motivasi yang tidak sehat.
Pada zaman dahulu, seorang bhikkhu
melatih dhutanga yang terdiri dari makan hanya sekali dalam sehari (ekasanika)
selama empat puluh tahun, tanpa siapa pun yang mengetahui akan hal tersebut.
Suatu hari, seseorang melihatnya sedang menghabiskan makanannya, berdiri dan
beralih untuk menempatkan dirinya di tempat lain. Pada saat yang khusus, orang
tersebut menawarkannya sepotong kue. Saat Yang Mulia itu secara sopan
menolaknya, si pemberi kue menebak alasannya, mengatakan secara keras: “Anda
berlatih dhutanga ekasanika!” Dikarenakan untuk tidak berkata bohong dan tidak
memperlihatkan latihannya, bhikkhu itu memilih untuk tidak melanggarnya dengan
cara menerima dan memakan potongan kue ini. Sesegera setelah beliau telah
mencerna kue tersebut, beliau kembali mengambil dhutanga ini.
F. Dhutanga yang dilatih berdasarkan status
Sendirian, seorang bhikkhu dapat
melatih 13 dhutanga. Bhikkhuni hanya dapat berlatih 8 di antaranya, samanera
hanya dapat berlatih 12, samaneri hanya dapat berlatih 7, dan umat awam hanya
dapat berlatih 2, bahkan 9, karena status atau kedisiplinan mereka tidak
memungkinkan mereka untuk melaksanakan yang lain.
1.
Bhikkhu
Seorang
bhikkhu dapat melaksanakan yang mana pun dari ketiga belas dhutanga tersebut.
Bahkan jika seorang bhikkhu menghendakinya, ia dapat berlatih keseluruhan 13
dhutanga tersebut sekaligus. Untuk hal tersebut, yang terbaik adalah menempati
kuburan secara sendirian yang mana pada saat yang sama juga memiliki
karakteristik tempat hutan jauh dari daerah yang dihuni dan dari
tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan. Meskipun
demikian, ia juga dapat tinggal di hutan selama tiga malam pertama, di suatu
tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan selama tiga
malam ke dua, dan di kuburan yang tanpa karakteristik khusus untuk tempat hutan
dan tanpa tempat berlindung selama tiga malam terakhir.
Kita
mungkin bertanya-tanya bagaimana melatih di saat bersamaan dhutanga yang
mengharuskan tinggal di bawah sebuah pohon (rukkhamula) dan dhutanga yang
mengharuskan tinggal di tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan
(abbhokasika). Meskipun penerjemahan kata-kata "berdiam di bawah sebuah
pohon", ide utama dhutanga rukkhamula adalah tidak mengambil sebuah pohon,
namun lebih pada meninggalkan kenyamanan materi yang mungkin menimbulkan
kemalasan dan terhadap segala kewajiban pemeliharaan yang harus dilakukan
karena berada di dalam kompleks bangunan. Jadi, dhutanga abbhokasika termasuk
dhutanga rukkhamula. Pada hari yang sama, dhutanga yang terdiri dari menjauhi
bertempat tinggal dalam sebuah kompleks bangunan (rukkhamula) dan dhutanga yang
terdiri dari meninggalkan tempat-tempat yang tersedia dengan tumbuh-tumbuhan
dan tempat berlindung (abbhokasika) tidak mencegah seseorang dari berlatih
dhutanga yang berbaring menempati "di dalam hutan" (araññika), karena
hal ini lalu tidak mengadopsi sebuah biara yang terletak di dalam hutan. Maksud
sebenarnya hanya memang terletak pada menempati tempat yang jauh dari daerah
yang berpenghuni, tempat tinggal seorang petapa, tempat terisolasi. Sebaliknya,
adalah memungkinkan untuk mempraktikkan dhutanga abbhokásika atau dhutanga
rukkhamúla tanpa mempraktikkan dhutanga áraññika, misalnya, dengan tinggal di
bawah sebuah pohon yang terletak di daerah yang berpenghuni.
2.
Bhikkhuni
Kedelapan
dhutanga yang dapat dilatih oleh bhikkhuni adalah: pamsukula, tecivarika,
pindapatta, sapadanacari, ekasanika, pattapinika, yathasantatika, dan
nesajjika.
Dhutanga
khalupacchabhattika tidak terpakai lagi bagi para bhikkhuni, karena vinaya
mereka melarang mereka untuk menolak makanan yang sedang disajikan kepada
mereka, bahkan setelah memulai untuk makan (berdasarkan pavarito, lihat
pacittiya 35). Mereka tidak dapat melatih dhutanga arannika karena vinaya
mereka melarang mereka untuk berdiam di tempat yang terisolasi, tanpa seorang
bhikkhu biara yang dekat lokasinya (berdasarkan peraturan ohiyana). Berkenaan
dengan dhutanga rukkhamula, abbhokasika, dan susanika, Buddha tidak memberikan
otorisasi pada mereka untuk mengambilnya, karena sebagai wanita,
latihan-latihan ini terlalu sulit dan berbahaya. seorang bhikkhuni tidak
dapat berjalan sendirian di luar kompleks kebiaraan. Seandainya bahwa hal
tersebut diizinkan bagi seorang bhikkhuni untuk mendiami suatu tempat yang jauh
dari bhikkhu biara, ditemani oleh bhikkhuni lainnya, ia akan kesulitan dalam
menemukan bhikkhuni lainnya yang setuju untuk melatih dhutanga yang sama
bersama-sama dengannya, tanpa menunjuk pada kenyataan bahwa tujuan utama
dhutanga terletak pada melatihnya dalam kesendirian.
3.
Samanera
Samanera
dapat berlatih 12 dhutanga; semua dengan mengesampingkan praktik
yang terletak pada membatasi diri pada tiga jubah (tecívarika), sebagaimana,
berbanding terbalik dengan para bhikkhu dan bhikkhuní, mereka tidak memiliki
jubah ganda pemberian. Memang, tidak ada sesuatu hal apa pun yang mencegah samanera
dari pelatihan hingga pemanfaatan jumlah yang sangat terbatas dalam hal jubah,
selendang (syal), atau selimut. Namun, ini tidak akan menjadi objek dari
tecívarika dhutanga.
4. Sikkhamana dan Samaneri
Ketujuh
dhutanga yang dapat dilatih oleh sikkhamana dan samaneri adalah: pamsukula,
pindapatta, sapadanacari, ekasanika, pattapinika, yathasantatika, dan
nesajjika.
Mereka
tidak dapat melatih khalupacchabhattika, áraññika, rukkhamula, abbhokasika, dan
susanika dhutanga, dan untuk alasan yang sama sebagaimana bhikkhuní tidak dapat
melatihnya, dan berkenaan dengan dhutanga tecívarika, untuk alasan yang sama
sebagaimana sámanera tidak dapat melatihnya.
5.
Umat awam
Kedua
dhutanga yang kaum awam termasuk biarawati mampu melatihnya adalah: ekásanika (makan sekali
sehari) dan pattapinika (mengambil makanan seseorang dengan alat penerima
tunggal). Namun, seorang umat awam yang benar-benar cenderung kepada praktik
penolakan, kemurnian pikiran, dan pada keyakinan yang besar ke dalam Dhamma,
dapat, mengikuti contoh para bhikkhu, melaksanakan dua dhutanga ekstra yang
disebutkan di atas, dhutanga khalupacchábhattika, áraññika, rukkhamúla,
abbhokásika, susánika, yathásantatika, dan nesajjika, yang meningkatkan jumlah
dhutanga hingga sembilan.
Namun,
umat awam tidak bisa mempraktikkan empat dhutanga pertama, karena mereka tidak
memakai jubah monastik apa pun dan tidak mendapatkan makanan mereka melalui
sebuah mangkuk.
6.
Para Ariya dan dhutanga
Para
Ariya adalah makhluk yang pasti berlatih dhutanga dalam kehidupan ini atau
dalam kelahiran kembali sebelumnya. Agar memiliki páramí yang cukup matang
untuk realisasi Dhamma, pelatihan dhutanga adalah tidak terelakan. Untuk alasan
ini, kita dapat mengatakan bahwa "praktik dhutanga adalah jalan para
Ariyá". Dhutanga bahkan termasuk sebuah latihan yang secara khusus
menguntungkan untuk perealisasian Nibbana, mengingat fakta bahwa mereka
menawarkan kondisi terbaik untuk pelatihan ke dalam delapan magganga dasar dari
satipathana (jalan yang memimpin pada Nibbana) di satu sisi, dan untuk
pelepasan dari seluruh rintangan untuk latihan ini di sisi lain.
Memang
terdapat banyak bhikkhu yang terkenal untuk praktik dhutanga mereka. Di antara
lainnya, pada masa Buddha, berkenaan dengan praktik dhutanga áraññika dan
pamsukula, Yang Mulia Maha Kassapa yang secara khusus terkenal (disamping
diakui oleh Buddha sebagai pelaksana terbaik dari 13 dhutanga dari sasana-Nya);
kemudian yang terkenal khususnya untuk ketaatan pelaksanaan dhutanga áraññika:
Yang Mulia Revata (di hutan Khariravaniya), Yang Mulia Tissa, dan Yang Mulia
Nágita; yang terkenal karena ketaatan dhutanga yang dihubungkan dengan abstensi
dan konsumsi makanan: Yang Mulia Mitta; yang secara khusus terkenal karena
ketaatan dari dhutanga nesajjika: Yang Mulia Sáriputtará, Yang Mulia Moggalána,
Yang Mulia Cakkhupála, dll.
Para
Arahat ini seperti semua Arahat yang mempraktikkan dhutanga tidak melalui
kesulitan dalam praktik tersebut demi kepentingan mereka sendiri, karena mereka
tidak lagi memiliki apa pun untuk diperoleh bagi diri mereka sendiri (seorang
arahat memiliki, menurut definisi, tidak ada lagi ambisi, maupun motivasi).
Mereka telah mempraktikkan dhutanga dengan satu-satunya tujuan positif membuat
contoh, mendorong untuk ketaatan terhadap praktik mulia ini bagi para bhikkhu
lain yang melihat mereka atau akan datang untuk mendengarkan tentang mereka.
Semua
Buddha juga telah mempraktikkan dhutanga dalam cara yang luar biasa, pada satu
atau beberapa momen keberadaan terakhir mereka. Dengan demikian, orang
bijaksana, meniru Buddha, mempraktikkan satu atau beberapa dhutanga ini.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dhutanga adalah latihan-latihan untuk meraih
kesucian, dhutanga
tidak dirancang bagi makhluk yang tinggi, maupun makhluk yang rendah. Latihan
ini bermanfaat bagi mereka yang melatihnya. Dhutanga bukanlah latihan yang
ekstrem; ini hanyalah latihan yang memungkinkan pikiran untuk dimurnikan dengan
cepat dan mudah, prasyarat mutlak bagi pengembangan perhatian dan konsentrasi.
Hal tersebut mengurangi rintangan yang tidak berguna, misalnya ketamakan akan
makanan, sejumlah pakaian yang harus dirawat, kekacauan di tempat tinggal, dan
berbagai macam kemelekatan lainnya.
B. Saran
Dengan melaksanakan
latihan dhutanga dengan baik, maka tidak akan ada kelelahan dan tekanan pada kita. Setiap orang bebas, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya, untuk
melatih satu atau beberapa praktik dhutanga, yang masing-masing meliputi tiga
tingkat pembatasan. Tujuan dari latihan-latihan ini terletak pada menyediakan
lingkungan yang memungkinkan untuk melakukan hidup pertapaan. kita sebagai siswa sang buddha hendaknya
mengikuti jejak sang buddha untuk membebaskan diri dari penderitann dan mencapai
nibhana.
DAFTAR PUSTAKA
Pandita Dhammavisarada Drs. Teja S.M. Rashid, 1997. Sila Dan Vinaya. Jakarta : Penerbit Buddhis BODDHI.
Tim Penyusun, 2003. Materi Kuliah
Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha(Kitab Suci Vinaya Pitaka).
Jakarta : CV. Devi Kayana Abadi.
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17282.0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar