Sabtu, 16 Juni 2012

DHUTANGA DALAM AGAMA BUDDHA


 
DHUTANGA DALAM AGAMA BUDDHA






 oleh : Sunaryo





BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Jauh sebelum Buddha muncul di dunia ini, terdapat latihan pertapaan yang dirancang dengan menyiksa tubuh dalam berbagai macam cara. Mereka yang menjalankannya percaya bahwa mereka akan terbebas dari penderitaan sebagai makhluk hidup. Di sisi lain, yang lain percaya bahwa tujuan tertinggi dari suatu keberadaan adalah terletak pada mengetahui bagaimana untuk menikmati kehidupan sepenuhnya dan memusatkan seluruh usaha mereka dalam menikmati kesenangan indria.
Dari awal mula ajaran-Nya, Buddha menolak dengan pasti kedua jalan ini yang beliau nilai sebagaijalan ekstrem. Dalam ajaran-Nya, beliau menjelaskan bahwa hanya jalan yang moderat,jalan tengah, yang dapat membimbing kita pada pengembangan kebijaksanaan dan pengetahuan benar tentang realita. Kedua jalan ekstrem ini mengembangkan, bagi mereka, kemelekatan dan pandangan salah, yang bertentangan dengan jalan moderat yang dapat mengurangi kemelekatan dan mengembangkan pandangan benar.
Perilaku hidup yang diterapkan oleh Bhagava untuk para bhikkhu dan bhikkhuni (patimokkha), untuk samanera (10 sila) dan untuk umat awam (5 atau 8 sila) adalah panduan cukup bagi siapa pun yang dengan baik sekali melatih dalam satipatthana. Bagi mereka yang ingin lebih cepat atau mudah untuk mencapai Nibbana, beliau juga mengajarkan satu set latihan pertapaan yang mana tidak wajib (13 aturan dhutanga yang tidak termasuk ke dalam vinaya), yang memungkinkan untuk mengurangi kebutuhan seseorang hingga sesedikit mungkin, sehingga melindungi , orang yang mempraktikkan latihan ini, dari kesombongan, keserakahan, kemalasan yang merupakan racun-racun utama dalam jalan pembebasan (hanya dengan berlatih dhutanga tertentu dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat benar-benar mengerti fakta ini; hasil yang mengesankan).
Dhutanga tidak dirancang bagi makhluk yang tinggi, maupun makhluk yang rendah. Latihan ini bermanfaat bagi mereka yang melatihnya. Dhutanga bukanlah latihan yang ekstrem; ini hanyalah latihan yang memungkinkan pikiran untuk dimurnikan dengan cepat dan mudah, prasyarat mutlak bagi pengembangan perhatian dan konsentrasi. Hal tersebut mengurangi rintangan yang tidak berguna, misalnya ketamakan akan makanan, sejumlah pakaian yang harus dirawat, kekacauan di tempat tinggal, dan berbagai macam kemelekatan lainnya. Dengan menjalankan latihan ini dengan baik, tidak ada dhutanga yang menimbulkan kelelahan dan tekanan pada tubah atau pikiran. Jika dhutanga melibatkan kesulitan besar atau usaha sulit pada seseorang, maka sebaiknya ia tidak melatihnya, sebagaimana hal ini akan menjadi latihan ekstrem bagi dirinya.
Setiap orang bebas, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya, untuk melatih satu atau beberapa praktik dhutanga, yang masing-masing meliputi tiga tingkat pembatasan. Tujuan dari latihan-latihan ini terletak pada menyediakan lingkungan yang memungkinkan untuk melakukan hidup pertapaan.
Dengan demikian, 13 dhutanga, yang berarti “pelepasan” meninggalkan (dhuta); keadaan batin (anga), merupakan satu paket latihan yang dirancang untuk benar-benar mengurangi kemelekatan kita, dengan tujuan untuk mencapai Nibbana dengan segera, seperti burung yang melintasi langit tak berawan pada garis lurus.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Pengertian Dhutanga?
2.    Bagaimana 13 Dhutanga?
3.    Bagaimana Lima macam motivasi?
4.    Bagaimana Lima faktor yang sebaiknya dikembangkan oleh seorang pelaksana dhutanga?
5.    Bagaimana Prosedur mengadopsi dhutanga?
6.    Bagaimana Dhutanga yang dilatih berdasarkan status?



C.  Tujuan Penulisan Makalah
1.    Menjelaskan Pengertian Dhutanga.
2.    Menjelaskan 13 Dhutanga.
3.    Menjelaskan Lima macam motivasi.
4.    Menjelaskan Bagaimana Lima faktor yang sebaiknya dikembangkan oleh seorang pelaksana dhutanga.
5.    Menjelaskan Prosedur mengadopsi dhutanga.
6.    Menjelaskan Dhutanga yang dilatih berdasarkan status.























BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Dhutanga
Dhutanga adalah latihan-latihan untuk meraih kesucian, tetapi bukanlah sila dan tidak dimasukkan ke dalam bahasan sila. Mereka dibicarakan dalam pokok bahasan sendiri dan karena dekat dengan sila, dhutanga dibahas segera setelah pembahasan sila.
Dhutanga yang dilakukan dalam hidup keagamaan, dijelaskan dalam tiga penafsiran. Pertama, disebut dhutanga karena dilaksanakan oleh petapa untuk mencapai kesucian. Kedua, pengetahuan pensucian bentuk-bentuk kekotoran batin bagian dari latihan, dan ketiga adalah merupakan jalan untuk melepaskan kekotoran batin.
Dalam Visudhimagga semua dhutanga dijelaskan dengan lima matika. Masing-masing terdiri dari: samadana (metoda me-nyatakan tekad), vidhana (sasaran-sasaran dan persyaratan), pabheda (tingkat berat-ringan), bheda (pelanggaran), dan anisamsa (manfaat).
Samadana menjelaskan bagaimana seharusnya seorang bhikkhu melaksanakan suatu dhutanga. Dalam setiap kasus, dia membuat dua pemyataan. Kemudian ia harus melakukan dhutanga dengan mengacu kepada salah satu dari pernyataan tadi. Misalnya, pamsukulikanga, ia harus melaksanakannya dengan mengacu kepada salah satu dari pemyataan berikut: "Saya menolak jubah yang diberikan oleh perumah tangga" atau "Saya melaksanakan latihan pemakai pakaian yang dibuang".
Vidhana memberikan sasaran dan kondisi pelaksanaan suatu dhutanga. Jadi, dalam kasus pamsukulikanga aturan menunjuk kepada sifat dari kain yang boleh dipungut oleh bhikkhu untuk dibuatkan jubahnya.
Pabheda menjelaskan berapa tingkat berat-ringan suatu dhutanga. Dalam setiap kasus, disebutkan ada tiga tingkat: akkattha (keras), majjhima (madiya), dan muduka (lunak). Bheda menjelaskan dalam kondisi-kondisi bagaimana pelanggaran dhutanga terjadi.
Anisamsu menjelaskan manfaat-manfaat melaksanakan dhutanga. Setiap dhutanga mempunyai manfaat sendiri, namun semuanya membawa kepada manfaat yang sama dalam hubungannya dengan garis keturunan Keluarga Ariya (ariya vamsa) yang memiliki ciri: sedikit kebutuhan (appicchata) puas dengan apa adanya (santutthita), pelenyapan kekotoran batin (sallekhata), mengembangkan ketidakmelekatan (pavive-kata).
Dhutanga tidak terdapat dalam Sutta Pitaka. Akan tetapi, beberapa yang termasuk dhutanga disebutkan dalam beberapa sutta seperti sapadanacari, pindapatika, pamsukulika, abho-kasika, arannanika, dan pantasenasanika.
Dalam kitab Vinaya V( 131 dan 193) dimuat daftar 13 dhutanga, namun tidak termasuk dalam vinaya. Di dalam Niddesa disebutkan delapan dhutanga. Di dalam kitab Milinda-panha, yang disusun oleh Bhikkhu Nagasena, untuk pertama kalinya dibicarakan 13 dhutanga. Uraian yang luas mengenai dhutanga dapat kita jumpai dalam Vimuttimagga yang disusun oleh Upatissa Thera dan dalam Visuddhimagga yang disusun oleh Buddhaghosa.
Dalam batas tertentu dhutanga dapat dipandang sebagai amalan-amalan yang bersifat tapa (ascetism) dan bagaimanakah penyesuaian dhutanga dengan Jalan Tengah?
Sang Buddha melihat adanya kecenderungan bertapa, namun tidak mengajurkan atau mengajarkan dhutanga sebagai peng-amalan yang harus dilaksanakan oleh setiap bhikkhu. Dalam kitab Samyutta Nikaya II. 132 dan kitab Anguttara Nikaya I. 23 disebutkan bahwa Maha Kassapa, salah seorang dari 80 siswa utama Sang Buddha, adalah yang paling mencolok di antara para dhutavadin.
Dhutanga dapat dilakukan seseorang jika dirasakannya bahwa hal itu membawa kemajuan dalam kehidupan keagamaannya. Beliau mengijinkannya bila dirasakan bahwa amalan itu dapat membantu dalam usaha melenyapkan Masa atau niwarana.
Sang Buddha tidak membenarkan bila dhutanga terlalu dipentingkan dan menghendaki para bhikkhu agar tidak sesumbar atas pengamalan dhutanga untuk mencari nama, kehormatan dan keuntungan pribadi. Seorang bhikkhu diharapkan agar dhutanga dilakukan dengan diam-diam, bahkan tanpa diketahui oleh sesama temannya.
Pada permulaannya empat nissaya menjadi keharusan bagi semua bhikkhu. Kemudian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang praktis ketentuan itu diperlunak. Nissaya itu adalah:
1.    Hidup hanya dari pindapata (pindapatikanga).
2.    Memakai jubah yang terbuat dari cabikan kain atau kain yang telah dibuang (pamsukulikanga).
3.    Berdiam di bawah pohon-pohon (rukkhamulikanga).
4.    Menggunakan sebagai obat myrobalau yang diragikan dalam air kencing sapi (putimuttabhesajja).
Suatu ketika Bhikkhu Devadatta datang kepada Sang Buddha dan meminta agar lima pelaksanaaan kebhikkhuan yang keras dijadikan keharusan bagi semua bhikkhu. Lima pelaksanaan itu adalah:
1.    Mereka harus hidup dalam hutan selama hidup mereka.
2.    Hidup di bawah pohon-pohon.
3.    Hidup hanya dari pindapata berkeliling saja.
4.    Jubah terbuat hanya dari cabikan kain yang telah dibuang.
5.    Harus mumi sayuranis.
Sang Buddha menolak permintaan Devadatta tersebut di atas, tetapi tidak melarang bila ada yang ingin melakukannya dan bukan suatu keharusan untuk semua bhikkhu. Peristiwa ini memperlihatkan bahwa Sang Buddha tidak menghendaki dhutanga terlalu dipentingkan.
Dari khotbah pertama Sang Buddha Dhammacakkappavattana Sutta dan dari bebeberapa sutta lainnya terlihat dengan jelas bahwa Sang Buddha telah menolak penyiksaan diri (attakila-mathanuyoga) yang merupakan suatu bentuk bertapa yang ekstrim. Bila dikatakan bahwa Sang Buddha menolak tapa, maka hal ini tidaklah berarti bahwa beliau menganjurkan pemanjaan diri (kamasukhalli-kannyoga) yang merupakan sikap yang ekstrim lainnya. Kedua sikap yang ekstrim tersebut di atas ditolak oleh Sang Buddha.
Sang Buddha menghendaki agar orang harus hidup sopan dan hidup layak, bukannya hidup sewenang-wenang. Hidup sehat dan selalu menambah kebajikan-kebajikan yang mulia dengan kebiasaan-kebiasaan yang sederhana, bukannya kehidupan yang mewah-megah.
Beliau memandang pikiran yang sehat di dalam tubuh yang sehat. Oleh sebab itu, Beliau menolak tapa yang berbentuk penyiksaan diri yang merusak kesehatan dan menekankan pada disiplin kesusilaan.
Dalam Mahasakuladayi Sutta disebutkan seorang petapa bernama Udayi menyampaikan pada Sang Buddha bahwa Beliau dijunjung tinggi oleh orang banyak karena hidup kesuciannya, kemurnian dan kesederhanaannya. Kemudian Sang Buddha menjawab bahwa dalam hal kesederhanaan ada beberapa bhikkhu yang melebihi Beliau sendiri. Misalnya, Maha Kassapa yang sangat taat melaksanakan amalan yang sangat berat: sepanjang hidupnya ia hanya makan makanan yang diterimanya dari rumah ke rumah; hari-harinya dilewatkannya di dalam hutan-hutan, sedangkan Sang Buddha kadang-kadang menerima undangan raja-raja dan berdiam dalam istana-istana. Sebagai jawaban lebih lanjut kepada Udayi, Sang Buddha mengatakan bahwa para arif bijaksana menghormati Tathagata karena pencapaianya dalam sila, samadhi, panna dan di atas segala-galanya karena pembebasan batin yang tak tergoyahkan lagi (akuppa-cetovimutti).
Dari semua ini dapat kita lihat sikap Sang Buddha yang berkenaan dengan dhutanga. Di lihat dari sudut kesederhanaanlah, maka Sang Buddha mengijinkan pelaksanaan dhutanga. Banyak bhikkhu-bhikkhu menjalankan dhutanga-dhutanga itu semasa Sang Buddha masih hidup. Kemudian dhutanga itu menjadi populer di antara sebagian bhikkhu dan tradisi itu diturunkan turun-temurun. Kini hanya sebagian dari dhutanga-dhutanga itu yang masih dilaksanakan oleh bhikldiu-bhikkhu yang hidup di tempat-tempat pertapaan (hermitages) dalam hutan-hutan.



B.  13 Dhutanga 
Di dalam kitab Visudhimagga disebutkan dan dijelaskan 13 Dhutanga yaitu :
1.    Pasukulikanga: tekad hanya memakai jubah yang dibuat dari kain yang telah dibuang di tempat pembungan sampah, tegalan atau di kuburan, atau tempat-tempat lainnya.
2.    Tecivarikanga: tekad memiliki hanya satu perangkat jubah yang terdiri tiga jubah: sanghati (jubah luar yang terdiri dari dua lapis), uttarasangha (jubah yang satu lapis), antaravasaka (sarung).
3.    Pindapattakanga: Tekad hidup hanya dari dana makanan yang dikumpul dari rumah ke rumah. Dalam tekad ini, seorang bhikkhu tidak boleh memakan 14 macam pemberian makanan yang diizinkan dalam vinaya. Makanan yang diizinkan itu, adalah:
(1)   Makanan yang diserahkan kepada Sangha (sanghabbattam).
(2)   Makanan yang diserahkan kepada pribadi bhikkhu (uddesabhattam).
(3)   Makanan yang diserahkan oleh seseorang (mimantanam).
(4)   Makanan yang diserahkan  melalui  kupon (salakabhattam)
(5)   Makanan yang diserahkan setiap bulan purnama (Pakkhitam).
(6)   Makanan yang diberikan setiap had Uposatha (upasathathikam).
(7)   Makanan yang diserahkan pada hari pertama tengah bulan pertama (patipatikam).
(8)   Makanan   yang diserakan   kepada tamu (agantukabhattam).
(9)   Makanan   yang   disediakan   untuk   kelana (ganikabhattam).
(10)      Makanan yang disediakan untuk orang sakit (gilanbhatam).
(11)      Makanan yang dimasudkan untuk orang yang datang melihat orang sakit (gilanupatthakabhattam).
(12)      Makanan yang dimaksudkan untuk Vihara tertentu (viharabhattam).
(13)      Makanan yang disediakan untuk rumah utama (dhurabhattam).
(14)      Makanan   yang   diberikan   sebagai   balasan (varabhattam).

4.    Sapadanacarikanga: Tekad hidup dengan menerima dana dari rumah ke rumah secara berurutan tanpa melewati satu rumahpun di antara­nya karena pertimbangan bahwa rumah yang di lewati itu adalah rumah orang yang tidak mampu memberi dana makanan sebaik rumah berikutnya yang di diami oleh orang kaya atau yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan sebagainya. Dengan demikian ia tidak memberi kesempatan kepada orang miskin untuk berbuat kebajikan.
5.    Ekasanikanga: Tekad memakan makanan tanpa ada selingan. Bila sedang makan, ia berhenti makan dan berpindah dari tempat duduknya karena sesuatu hal, maka ia tidak akan melanjutkan makannya lagi atau mengulangi makan sekali lagi.
6.    Pattapinikanga: Tekad memakan hanya makanan yang ada dalam satu mangkok (patta). Segala macam makanan yang akan dimakan semuanya berada dalam mangkok tersebut, tanpa menggunakan piring atau mangkok lain sebagai wadah makanan yang akan dimakan.
7.    Khalupacchabhattikanga: Tekad tidak makan lagi setelah selesai makan atau setelah menyatakan maksud menghentikan makan.
8.    Aranyikanga: Tekad tinggal hanya di dalam hutan-hutan yang cukup jauh dari tempat tinggal orang banyak.
9.    Rukkhamulikanga: Tekad untuk berdiam di bawah satu pohon. Pohon itu tidak boleh merupakan tanda batas dari satu desa, pohon yang berada dalam lingkungan vihara atau tempat ibadah atau pohon yang berbuah.
10.     Abbhokasikanga: Tekad untuk berdiam di tempat yang terbuka (tegalan). Seorang yang menjalankan dhutanga ini dan rukkhamulikanga (9) diizinkan berlindung di tempat yang terlindung pada musim hujan.
11.     Sosanikanga: Tekad untuk berdiam di kuburan. Sebidang tanah yang disediakan untuk perkuburan tapi belum digunakan sebagai kuburan tidak dianggap sebagai suatu kuburan. Tanah yang telah digunakan sebagai kuburan tetapi telah ditinggalkan dan tidak digunakan lagi kendatipun setelah selama 12 tahun dipandang sebagai satu sosana.
12.    Yathasantatikanga: Tekad menggunakan tempat tidur atau kursi yang diberikan padanya tanpa menukarnya dengan yang lebih baik atau jelek.
13.    Nesajjikanga: Tekad tidak tidur dengan rebah berbaring pada malam hari dan tidur dalam sikap duduk. Bhikkhu yang melaksanakan dhutanga ini dapat juga melewati malam hari dengan sikap berdiri, berjalan (iriyapatha).
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa setiap dhutanga, masing-masing mempunyai manfaat dan membawa dhutangavadin ke dalam Keluarga Ariya (ariyavamsa) yang bercirikan: sedikit kebutuhannya (appichata), mudah puas (santuthita), melenyapkan kilesa (sallekhata) dan menipis kemelekatan (pavivekata).

C.  Lima macam motivasi
Untuk melatih dhutanga, terdapat beberapa macam motivasi. Beberapa orang dapat melatih salah satu dari latihan tersebut untuk suatu tujuan yang buruk, dalam tujuan  mengumpulkan kebanggaan dalam diri mereka sendiri, sedangkan yang lain melatih salah satu dari latihan ini untuk suatu tujuan yang murni, dengan tujuan menyembuhkan diri mereka sendiri dari kekotoran batin (kilesa), sama seperti keadaan pikiran seseorang yang meminum obat.  Berikut adalah lima macam motivasi yang dapat kita bedakan di antara mereka yang melatih salah satu atau lebih dhutanga:
1.    Karena ketidaktahuan sama sekali, bahkan tanpa mengetahui keuntungan mereka:  hanya karena telah mendengar bahwa para pelaksana dhutanga adalah cukup terkenal dan dalam hal ini dapat mengatakan “sayalah, saya melatih dhutanga” dll.
2.    Untuk memperoleh keuntungan dengan mengembangkan keserakahan, misalnya: untuk memperoleh banyak pemberian, untuk dianggap baik oleh orang lain, untuk menimbulkan suatu pemujaan yang luar biasa dari orang lain, untuk menarik murid bagi seseorang, dll.
3.    Karena kegilaan, karena ketidaktahuan sama sekali, tanpa penyelidikan mengenai hal apa pun.
4.    Karena Buddha dan Para Ariya memuji latihan semacam itu.
5.    Untuk memperoleh manfaat dengan keuntungan yang sehat, misalnya: kapasitas untuk berpuas diri dengan yang sangat sedikit, kelemahan terpaut pada keserakahan, kemudahan dalam memperoleh hal-hal yang dibutuhkan, ketenangan, ketidakmelekatan, dll.
Buddha tidak menyetujui tiga motivasi pertama di atas, beliau hanya menyetujui dua motivasi terakhir. Seseorang boleh kemudian melatih salah satu atau beberapa dhutanga jika dia termotivasi menurut motivasi ke empat dan ke lima diantara lima macam motivasi di atas. Meskipun demikian, dhutanga memiliki manfaat yang lebih tinggi jika hal tersebut dilatih menurut motivasi ke lima, daripada motivasi yang ke empat.

D.   Lima faktor yang sebaiknya dikembangkan oleh seorang pelaksana dhutanga
Seorang pelaksana dhutanga yang sedang berada pada posisi melakukan latihan-latihan itu (ia berada dalam keadaan kesehatan yang baik, dll), yang jujur dan yang memiliki Nibbana sebagai akhir tujuan, adalah berharga untuk dipuja oleh para Brahma, dewa dan manusia.
Ini adalah lima faktor yang sebaiknya dikembangkan oleh masing-masing pelaksana dhutanga:
1.    Tanpa keserakahan.
2.    Mengetahui bagaimana untuk merasa puas dengan yang sangat sedikit.
3.    Benar-benar ingin menghancurkan kilesa.
4.    Tetap tinggal di suatu tempat tenang.
5.    Tidak ada lagi keinginan mengenai keberadaan apa pun dalam dunia dan kondisi apa pun (dengan kata lain, menginginkan Parinibanna).
Faktor pertama adalah menaklukkan keserakahan. Hal tersebut berperan dalam menghancurkan  keinginan-keinginan indria. Kekuatan yang merupakan yang terakhir dari faktor-faktor ini adalah objek yang dapat ditumbuhkan dengan menggunakan kebijaksanaan (panna).
Melalui alobha, kita melenyapkan praktik yang mengembangkan keinginan indria (kámasukhalliká nuyoga), dan melalui amoha, kita menghilangkan seluruh praktik yang menindas tubuh (attakilamathá nuyoga). Buddha memuji mereka yang melaksanakan dhutanga dengan mengembangkan secara penuh kelima faktor yang telah disebutkan di atas.
Menurut kitab komentar lainnya, faktor-faktor yang perlu dilatih dalam dhutanga adalah:
1.    saddha, keyakinan, kepercayaan diri.
2.    hirima, takut atau malu untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat.
3.    dhitima, tenang, terkendali, dan berkonsentrasi pada perilaku diri.
4.    akuha, ketidaktertarikan terhadap ketenaran (karena sesuatu yang kurang baik), kemasyhuran, perhatian pada kepentingan orang lain.
5.    atthavasi, perealisasian dhamma sebagai tujuan unik.
6.    alobha, ketidakserakahan.
7.    sikkhakama, berbudi luhur secara alami dan konstan.
8.    ahasamadana, mencegah diri dari melalaikan salah satu dari latihan-latihan ini.
9.    anujjhanabahula, tidak mengkritik orang lain, bahkan jika mereka bersalah.
10.     mettavihari,  secara konstan penuh dengan rasa kasih (kebajikan).
Seorang praktisi serius dhutanga harus berakar dengan baik sekali ke dalam salah satu dari sepuluh faktor ini. Seorang praktisi yang mengetahui bagaimana untuk berketetapan pada faktor-faktor ini berada dalam posisi untuk mencapai Nibbana.
Elemen-elemen yang sebaiknya dihindari:
1.    Papiccha, menginginkan hal-hal yang tidak sehat/tidak baik.
2.    Icchapakata, menekan pikiran seseorang melalui keinginan-keinginan.
3.    Kuhaka, mencoba untuk menarik perhatian dari orang lain.
4.    Luddha, iri hati, keinginan besar (untuk memiliki sesuatu).
5.    Odarika, secara kasar memikirkan makanan orang lain.
6.    Labhakama, ingin terlibat dalam beberapa persoalan.
7.    Yasakama, ingin memiliki banyak murid, ingin dipuja oleh banyak orang.
8.    Kittikama, ingin terkenal (dikarenakan sesuatu yang kurang baik), ketenaran yang luar biasa.
Jika seorang bhikkhu melatih dhutanga berdasarkan salah satu atau beberapa dari delapan poin ini, ia tentu akan menjadi subjek kritik dan tidak dihormati. Ia bahkan berisiko mengalami kecacatan pada kehidupan berikutnya, seperti buruk rupa, cacat fisik, kekurangan anggota gerak, jika tidak terlahir di alam neraka. Itulah mengapa seseorang harus berjuang mengembangkan faktor yg diperlukan dan menghindari faktor yang merugikan.

E.   Prosedur mengadopsi dhutanga
Ø Untuk mengambil dhutanga yang seseorang ingin latih, prospek ideal terletak pada melaksanakannya di hadapan Buddha.
Ø Jika Buddha jauh atau tidak ada lagi, ini sangat bermanfaat untuk mengambil dhutanga di hadapan Aggasavaka (sebutan yang diberikan pada dua murid mulia Buddha).
Ø Jika aggasavaka jauh atau tidak ada lagi, kita bisa melakukannya di hadapan Mahasavaka (sebutan yang diberikan pada 80 murid utama Buddha).
Ø Jika Mahasavaka jauh dan tidak ada lagi, kita bisa melakukannya di hadapan Arahanta.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Arahanta, kita dapat melakukannya di hadapan Anagami.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Anagami, kita dapat melakukannya di hadapan Sakadagami.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Sakadagami, kita dapat melakukannya di hadapan Sotapana.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Sotapana, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian Tipitaka.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka.
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka.
Ø Jika kita dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar).
Ø Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar), kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang berlatih dhutanga.
Ø Jika tidak ada seorang pun yang hadir, kita dapat melakukannya di depan cetiya.
Lebih baik melaksanakan satu atau beberapa latihan dhutanga di hadapan seseorang yang memiliki karakter sila yang murni. Hal ini akan mendorong kita untuk menjadi lebih baik dalam menjaga latihan dhutanga dan menghindari untuk melanggarnya. Namun, jika seseorang ingin mengadopsi dhutanga di luar pengakuan oleh siapa pun, adalah memungkinkan untuk melaksanakan semuanya sendirian. Beberapa bhikkhu lagipula memutuskan untuk tidak membiarkan siapa pun tahu mengenai latihan mereka, sehingga secara kokoh menetapkan dalam dirinya sendiri sebuah tekad untuk tidak melatih dhutanga yang didorong oleh motivasi yang tidak sehat.
Pada zaman dahulu, seorang bhikkhu melatih dhutanga yang terdiri dari makan hanya sekali dalam sehari (ekasanika) selama empat puluh tahun, tanpa siapa pun yang mengetahui akan hal tersebut. Suatu hari, seseorang melihatnya sedang menghabiskan makanannya, berdiri dan beralih untuk menempatkan dirinya di tempat lain. Pada saat yang khusus, orang tersebut menawarkannya sepotong kue. Saat Yang Mulia itu secara sopan menolaknya, si pemberi kue menebak alasannya, mengatakan secara keras: “Anda berlatih dhutanga ekasanika!” Dikarenakan untuk tidak berkata bohong dan tidak memperlihatkan latihannya, bhikkhu itu memilih untuk tidak melanggarnya dengan cara menerima dan memakan potongan kue ini. Sesegera setelah beliau telah mencerna kue tersebut, beliau kembali mengambil dhutanga ini.

F.   Dhutanga yang dilatih berdasarkan status
Sendirian, seorang bhikkhu dapat melatih 13 dhutanga. Bhikkhuni hanya dapat berlatih 8 di antaranya, samanera hanya dapat berlatih 12, samaneri hanya dapat berlatih 7, dan umat awam hanya dapat berlatih 2, bahkan 9, karena status atau kedisiplinan mereka tidak memungkinkan mereka untuk melaksanakan yang lain.
1.    Bhikkhu
Seorang bhikkhu dapat melaksanakan yang mana pun dari ketiga belas dhutanga tersebut. Bahkan jika seorang bhikkhu menghendakinya, ia dapat berlatih keseluruhan 13 dhutanga tersebut sekaligus. Untuk hal tersebut, yang terbaik adalah menempati kuburan secara sendirian yang mana pada saat yang sama juga memiliki karakteristik tempat hutan jauh dari daerah yang dihuni dan dari tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan. Meskipun demikian, ia juga dapat tinggal di hutan selama tiga malam pertama, di suatu tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan selama tiga malam ke dua, dan di kuburan yang tanpa karakteristik khusus untuk tempat hutan dan tanpa tempat berlindung selama tiga malam terakhir.
Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana melatih di saat bersamaan dhutanga yang mengharuskan tinggal di bawah sebuah pohon (rukkhamula) dan dhutanga yang mengharuskan tinggal di tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan (abbhokasika). Meskipun penerjemahan kata-kata "berdiam di bawah sebuah pohon", ide utama dhutanga rukkhamula adalah tidak mengambil sebuah pohon, namun lebih pada meninggalkan kenyamanan materi yang mungkin menimbulkan kemalasan dan terhadap segala kewajiban pemeliharaan yang harus dilakukan karena berada di dalam kompleks bangunan. Jadi, dhutanga abbhokasika termasuk dhutanga rukkhamula. Pada hari yang sama, dhutanga yang terdiri dari menjauhi bertempat tinggal dalam sebuah kompleks bangunan (rukkhamula) dan dhutanga yang terdiri dari meninggalkan tempat-tempat yang tersedia dengan tumbuh-tumbuhan dan tempat berlindung (abbhokasika) tidak mencegah seseorang dari berlatih dhutanga yang berbaring menempati "di dalam hutan" (araññika), karena hal ini lalu tidak mengadopsi sebuah biara yang terletak di dalam hutan. Maksud sebenarnya hanya memang terletak pada menempati tempat yang jauh dari daerah yang berpenghuni, tempat tinggal seorang petapa, tempat terisolasi. Sebaliknya, adalah memungkinkan untuk mempraktikkan dhutanga abbhokásika atau dhutanga rukkhamúla tanpa mempraktikkan dhutanga áraññika, misalnya, dengan tinggal di bawah sebuah pohon yang terletak di daerah yang berpenghuni.
2.    Bhikkhuni
Kedelapan dhutanga yang dapat dilatih oleh bhikkhuni adalah: pamsukula, tecivarika, pindapatta, sapadanacari, ekasanika, pattapinika, yathasantatika, dan nesajjika.
Dhutanga khalupacchabhattika tidak terpakai lagi bagi para bhikkhuni, karena vinaya mereka melarang mereka untuk menolak makanan yang sedang disajikan kepada mereka, bahkan setelah memulai untuk makan (berdasarkan pavarito, lihat pacittiya 35). Mereka tidak dapat melatih dhutanga arannika karena vinaya mereka melarang mereka untuk berdiam di tempat yang terisolasi, tanpa seorang bhikkhu biara yang dekat lokasinya (berdasarkan peraturan ohiyana). Berkenaan dengan dhutanga rukkhamula, abbhokasika, dan susanika, Buddha tidak memberikan otorisasi pada mereka untuk mengambilnya, karena sebagai wanita, latihan-latihan ini terlalu sulit dan berbahaya. seorang bhikkhuni tidak dapat berjalan sendirian di luar kompleks kebiaraan. Seandainya bahwa hal tersebut diizinkan bagi seorang bhikkhuni untuk mendiami suatu tempat yang jauh dari bhikkhu biara, ditemani oleh bhikkhuni lainnya, ia akan kesulitan dalam menemukan bhikkhuni lainnya yang setuju untuk melatih dhutanga yang sama bersama-sama dengannya, tanpa menunjuk pada kenyataan bahwa tujuan utama dhutanga terletak pada melatihnya dalam kesendirian.
3.    Samanera
Samanera dapat berlatih 12 dhutanga; semua dengan mengesampingkan praktik yang terletak pada membatasi diri pada tiga jubah (tecívarika), sebagaimana, berbanding terbalik dengan para bhikkhu dan bhikkhuní, mereka tidak memiliki jubah ganda pemberian. Memang, tidak ada sesuatu hal apa pun yang mencegah samanera dari pelatihan hingga pemanfaatan jumlah yang sangat terbatas dalam hal jubah, selendang (syal), atau selimut. Namun, ini tidak akan menjadi objek dari tecívarika dhutanga.
4.    Sikkhamana dan Samaneri
Ketujuh dhutanga yang dapat dilatih oleh sikkhamana dan samaneri adalah: pamsukula, pindapatta, sapadanacari, ekasanika, pattapinika, yathasantatika, dan nesajjika.
Mereka tidak dapat melatih khalupacchabhattika, áraññika, rukkhamula, abbhokasika, dan susanika dhutanga, dan untuk alasan yang sama sebagaimana bhikkhuní tidak dapat melatihnya, dan berkenaan dengan dhutanga tecívarika, untuk alasan yang sama sebagaimana sámanera tidak dapat melatihnya.
5.    Umat awam
Kedua dhutanga yang kaum awam termasuk biarawati mampu melatihnya adalah: ekásanika (makan sekali sehari) dan pattapinika (mengambil makanan seseorang dengan alat penerima tunggal). Namun, seorang umat awam yang benar-benar cenderung kepada praktik penolakan, kemurnian pikiran, dan pada keyakinan yang besar ke dalam Dhamma, dapat, mengikuti contoh para bhikkhu, melaksanakan dua dhutanga ekstra yang disebutkan di atas, dhutanga khalupacchábhattika, áraññika, rukkhamúla, abbhokásika, susánika, yathásantatika, dan nesajjika, yang meningkatkan jumlah dhutanga hingga sembilan.
Namun, umat awam tidak bisa mempraktikkan empat dhutanga pertama, karena mereka tidak memakai jubah monastik apa pun dan tidak mendapatkan makanan mereka melalui sebuah mangkuk.
6.    Para Ariya dan dhutanga
Para Ariya adalah makhluk yang pasti berlatih dhutanga dalam kehidupan ini atau dalam kelahiran kembali sebelumnya. Agar memiliki páramí yang cukup matang untuk realisasi Dhamma, pelatihan dhutanga adalah tidak terelakan. Untuk alasan ini, kita dapat mengatakan bahwa "praktik dhutanga adalah jalan para Ariyá". Dhutanga bahkan termasuk sebuah latihan yang secara khusus menguntungkan untuk perealisasian Nibbana, mengingat fakta bahwa mereka menawarkan kondisi terbaik untuk pelatihan ke dalam delapan magganga dasar dari satipathana (jalan yang memimpin pada Nibbana) di satu sisi, dan untuk pelepasan dari seluruh rintangan untuk latihan ini di sisi lain.
Memang terdapat banyak bhikkhu yang terkenal untuk praktik dhutanga mereka. Di antara lainnya, pada masa Buddha, berkenaan dengan praktik dhutanga áraññika dan pamsukula, Yang Mulia Maha Kassapa yang secara khusus terkenal (disamping diakui oleh Buddha sebagai pelaksana terbaik dari 13 dhutanga dari sasana-Nya); kemudian yang terkenal khususnya untuk ketaatan pelaksanaan dhutanga áraññika: Yang Mulia Revata (di hutan Khariravaniya), Yang Mulia Tissa, dan Yang Mulia Nágita; yang terkenal karena ketaatan dhutanga yang dihubungkan dengan abstensi dan konsumsi makanan: Yang Mulia Mitta; yang secara khusus terkenal karena ketaatan dari dhutanga nesajjika: Yang Mulia Sáriputtará, Yang Mulia Moggalána, Yang Mulia Cakkhupála, dll.
Para Arahat ini seperti semua Arahat yang mempraktikkan dhutanga tidak melalui kesulitan dalam praktik tersebut demi kepentingan mereka sendiri, karena mereka tidak lagi memiliki apa pun untuk diperoleh bagi diri mereka sendiri (seorang arahat memiliki, menurut definisi, tidak ada lagi ambisi, maupun motivasi). Mereka telah mempraktikkan dhutanga dengan satu-satunya tujuan positif membuat contoh, mendorong untuk ketaatan terhadap praktik mulia ini bagi para bhikkhu lain yang melihat mereka atau akan datang untuk mendengarkan tentang mereka.
Semua Buddha juga telah mempraktikkan dhutanga dalam cara yang luar biasa, pada satu atau beberapa momen keberadaan terakhir mereka. Dengan demikian, orang bijaksana, meniru Buddha, mempraktikkan satu atau beberapa dhutanga ini.























BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
Dhutanga adalah latihan-latihan untuk meraih kesucian, dhutanga tidak dirancang bagi makhluk yang tinggi, maupun makhluk yang rendah. Latihan ini bermanfaat bagi mereka yang melatihnya. Dhutanga bukanlah latihan yang ekstrem; ini hanyalah latihan yang memungkinkan pikiran untuk dimurnikan dengan cepat dan mudah, prasyarat mutlak bagi pengembangan perhatian dan konsentrasi. Hal tersebut mengurangi rintangan yang tidak berguna, misalnya ketamakan akan makanan, sejumlah pakaian yang harus dirawat, kekacauan di tempat tinggal, dan berbagai macam kemelekatan lainnya.

B.  Saran
Dengan melaksanakan latihan dhutanga dengan baik, maka tidak akan ada kelelahan dan tekanan pada kita. Setiap orang bebas, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya, untuk melatih satu atau beberapa praktik dhutanga, yang masing-masing meliputi tiga tingkat pembatasan. Tujuan dari latihan-latihan ini terletak pada menyediakan lingkungan yang memungkinkan untuk melakukan hidup pertapaan. kita sebagai siswa sang buddha hendaknya mengikuti jejak sang buddha untuk membebaskan diri dari penderitann dan mencapai nibhana.









DAFTAR PUSTAKA

Pandita Dhammavisarada Drs. Teja S.M. Rashid, 1997. Sila Dan Vinaya. Jakarta : Penerbit Buddhis BODDHI.
Tim Penyusun, 2003. Materi Kuliah Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha(Kitab Suci Vinaya Pitaka). Jakarta : CV. Devi Kayana Abadi.
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17282.0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar