Senin, 18 Juni 2012

Jurnalistik BY SUNARYO


A.  Pengertian Ragam atau Bahasa Jurnalistik
Bahasa Indonesia sebagai  alat komunikasi sangatlah penting di dalam pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Namun, di dalam penggunaannya Bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan di dalam cara penggunaannya di setiap kondisi dan situasi yang berbeda-beda. Hal itulah yang menimbulkan ragam bahasa di dalam Bahasa Indonesia. Salah satu ragam bahasa yang banyak dan paling sering kita temui adalah ragam bahasa jurnalistik yang akan diulas disini.
Sebelum mengetahui lebih jauh bagaimana dan hal apa yang harus diperhatikan di dalam ragam bahasa Jurnalistik, perlu diketahui bahwa ragam bahasa jurnalistik bukan hanya sekedar menggunakan bahasa baku namun juga harus lebih  menekankan pada daya kekomunikatifannya, karena sebenarnya kita melakukan komunikasi dengan pembaca melalui tulisan yang kita buat.
Secara harfiah (etimologis, asal usul kata), jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian.
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers.
Bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features.  Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang sudah memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan  jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch, 2000). Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama ada yang menyebut laporan utama, forum utama akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang dapat  mempengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Namun demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000). Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat.  
Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam bahasa jurnalistik mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Dengan kata lain bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar. Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya  dengan mengutamakan daya komunikasinya. 

B.  Prinsip Dasar Ragam atau Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa jurnalistik  itu harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik di antaranya:
1.    Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjangdanbertele-tele.
2.    Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya.
3.    Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis).
4.    Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga.
5.    Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
6.    Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Namun seringkali kita masih menjumpai judul berita: Tim Ferrari Berhasil Mengatasi Rally Neraka Paris-Dakar. Jago Merah Melahap Mall Termewah di Kawasan Jakarta. Polisi Mengamankan Oknum Pemerkosa dari Penghakiman Massa.    
Dalam menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan berbahasa tulis yang terus-menerus, melakukan penyuntingan yang tidak pernah berhenti. Dengan berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan, barangkali akan bisa diwujudkan keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan dahaga selera pembacanya. 
Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972)  sebagai fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan fakta-fakta. Namun, persoalan muncul bagaimana cara mengkonstruksi bahasa jurnalistik itu agar dapat menggambarkan fakta yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993)  disebut retorika tekstual yaitu kekhasan pemakai bahasa  sebagai alat untuk mengkonstruksi teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa jurnalistik.
Terdapat empat prinsip retorika tekstual   yang dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas. 
1.    Prinsip prosesibilitas
Menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
2.    Prinsip kejelasan
Yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
3.    Prinsip ekonomi
Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang wacana jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintaksis yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacana jurnalistik
4.    Prinsip ekspresivitas
Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.
Dengan pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan para jurnalis di dalam menulis berita. Bahasa jurnalistik dapat dikatakan menggunakan bahasa baku namun tetap menekankan pada sisi kekomunikatifannya. Bahasa jurnalistik juga memiliki ciri-ciri khas yakni singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.
Selain itu, pemakai bahasa jurnalistik yang baik tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis paragraf yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula. Paragraf yang berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga menunjukkan kesatuan dalam isinya.
C.  Ciri Ragam atau Bahasa Jurnalistik
Ada 19 ciri bahasa Indonesia jurnalistik yang disimpulkan oleh Abdul Chaer yang mengutip dari H.       Rosihan Anwar dan John Hohenberg.
1.    Sesuai dengan ejaan yang berlaku.
2.    Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku.
3.    Tidak menanggalkan prefik me- dan ber- , kecuai dalam judul berita.
4.    Menggunakan kalimat pendek, lengkap, dan logis.
5.    Tiap alinea terdiri dari 2 atau tiga kalimat dan koherensinya terpelihara.
6.    Penggnaan bentuk aktif (kata dan kalimat) lebih diutamakan. Bentuk pasif seperlunya saja. Kata sifat juga dibatasi penggunaannya.
7.    Ungkapan-ungkapan klise seperti: sementara itu, perlu diketahui, di mana, kepada siapa dan sebagainya dihindari.
8.    Kata berlebihan tidak digunakan.
9.    Kalimat aktif dan pasif tidak dicampuradukkan dalam satu paragraf.
10.     Kata asing dan istilah ilmiah yang sangat teknis tidak digunakan. Kalau terpaksa harus dijelaskan.
11.     Penggunaan singkatan dan akronim dibatasi. Pada pertama kali singkatan dan akronim digunakan harus diberi penjelasan kepanjangannya.
12.     Penggunaan kata yang pendek didahulukan daripada kata yang panjang.
13.     Tidak menggunakan kata ganti orang pertama (saya dan kami), berita harus menggunakan kata ganti orang ketiga.
14.     Kutipan ditempatkan pada alinea baru.
15.     Memasukkan pendapat sendiri dalam berita.
16.     Berita disajikan dalam bentuk past tense sesuatu yang telah terjadi.
17.     Kata hari ini digunakan dalam media elektronik dan harian sore. Sedangkan kata kemarin digunakan harian pagi hari.
18.     Segala sesuatu dijelaskan secara spesifik.
19.     Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikatif, mudah dipahami bagi pembaca
D.  Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku:
1.    Peyimpangan morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
2.    Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika.  Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.
3.    Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit diganti kejahatan. Dalam konflik Dayak- Madura, jelas bahwa yang bertikai adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk kedua etnis secara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose merupakan kosakata yang menekan seperti GPK, subversif, aktor intelektual, ekstrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustrasi, golongan anti pembangunan, dll. Bahkan di era kebebasan pers seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian kosakata yang bias makna semakin banyak.
4.    Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.
5.    Kesalahan pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan di atas adalah melakukan kegiatan penyuntingan baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, dan ejaan. Selain itu, pemakai bahasa jurnalistik yang baik tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis paragraf yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula. Paragraf yang berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga menunjukkan kesatuan dalam isinya. Paragraf menjadi rusak  karena penyisipan-penyisipan yang tidak bertemali dan pemasukan kalimat topik kedua atau gagasan pokok lain ke dalamnya.
Oleh karena itu seorang penulis seyogyanya memperhatikan pertautan dengan (a) memperhatikan kata ganti; (b) gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau mengulang fungsi khusus. Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian kalimat yang berbeda  menurut struktur gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan dengan selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo” menggunakan kalimat-kalimat yang pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai wartawan yang pernah bersentuhan dengan majalah Tempo.
Agar penulis mampu memilih kosakata yang tepat mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang sama yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya. Dengan cara ini penulis bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Jika dianalogikan dengan makanan, semua makanan memiliki fungsi sama, tetapi setiap orang memiliki selera makan yang berbeda. Tugas jurnalis adalah melayani selera pembaca dengan jurnalistik yang enak dibaca dan perlu. (Slogan Tempo).
E.   Contoh Jurnalisme
1.    Jurnalisme Kemanusiaan
Teknik pengumpulan informasi dari narasumber dengan rasa kemanusiaan atau rasa iba. Dengan memiliki rasa empati, seorang jurnalis dapat menghilangkan jarak antara dirinya dengan narasumber, sehingga informasi yang mendalam-pun dapat diperoleh pada akhirnya melalui narasumber.
Jadi, jurnalisme kemanusiaan adalah jurnalisme yang didasarkan pada esensi dasar kemanusiaan atau nilai-nilai kemanusiaan. Kegiatan jurnalistik yang merendahkan martabat manusia seperti pemberitaan kekejaman perang yang berakibat semakin jauhnya dari perdamaian bukan jurnalisme kemanusiaan. Tetapi, peliputan pemberitaan yang menyeimbangkan dari semua pihak (all sides) yang bertikai dan secara adil misalnya, masuk dalam kriteria jurnalisme kemanusiaan. Sementara itu, jurnalisme non kemanusiaan adalah bertolak belakang dengan jurnalisme kemanusiaan itu sendiri dengan tidak memegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan. Berita yang dibuat asal jadi dengan tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan, merendahkan martabat kemanusiaan adalah contoh jurnalisme non kemanusiaan.
Ø Contoh Jurnalisme Kemanusiaan:
Seorang wartawan yang dalam kegiatannya sehari-hari diabdikan diri untuk kemanusiaan, menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, selalu mempertimbangkan fakta yang diliput secara adil, seimbang dan memperhatikan dampak yang ditimbulkannya adalah seorang humanis. Seorang wartawan karena idealisme kemanusiaan menolak penugasan dari atasannya yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan adalah seorang humanis pula.
Seorang wartawan yang ditugaskan untuk mewawancara korban kecelakaan pesawat yang wajahnya telah hancur, dan sekujur tubuhnya telah terbakar api dari kecelakaan, tentu harus diberi pendekatan yang lembut. Wartawan yang bertugas harus memiliki rasa iba, empati, rasa kemanusiaan, hingga narasumber yang akan diwawancara dapat merasa dihargai, tidak direndahkan, dan akhirnya mau terbuka untuk berbagi pengalaman dan informasi.
2.    Jurnalisme Perdamaian
"Jurnalisme Damai" adalah jenis jurnalisme yang lebih mengarah pada penyampaian informasi yang berdampak pada perdamaian. Istilah ini bisa saja digunakan untuk membedakan dari "jurnalisme perang". Yakni jenis jurnalisme yang mengobarkan peperangan dengan penyampaian informasi yang bersifat provokatif, intimidasi, dan desas-desus. Penganut paradigma jurnalisme perang tidak hanya mengobarkan konflik tetapi juga memotret kekerasan secara telanjang. Istilah jurnalisme damai ini mulai diperkenalkan kali pertama oleh Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan pada 1970-an. Galtung mencermati, banyak jurnalisme perang yang mendasarkan kerja jurnalistiknya pada asumsi yang sama, seperti halnya para jurnalis yang meliput olahraga. Yang ditonjolkan hanyalah kemenangan dan kekalahan dalam "permainan kalah-menang" antardua pihak yang berhadapan. Jenis jurnalisme damai disosialisasikan secara intensif di berbagai negara di dunia, khususnya di wilayah-wilayah konflik mulai akhir 1980-an. Di Indonesia, jurnalisme damai menjadi sebuah wacana ketika terjadi konflik Ambon, menyusul konflik-konflik lain atas dasar SARA.

Contoh Jurnalisme Damai:
MERENUNGKAN JASA SOEHARTO
Harus diakui bahwa meninggalnya mantan Presiden Soeharto membuat kita mencoba merefleksikan ulang, bahwa negeri ini pernah berada pada titik puncak keberhasilan pembangunan. Jujur kita katakan bahwa di jamannya memerintah, bangsa kita pernah menikmati betapa mudahnya hidup kala itu. Bagi sebagian masyarakat, di jaman Soeharto, kehidupan memang tidak sesulit sekarang.
Kini, harga-harga mahal, bahkan kebutuhan pokok amat mahal. Pada periode 1980-1993, pemerintah memang memiliki kemampuan untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan sekitar 8 persen setahun dengan nilai tukar terhadap dollar Amerika sekitar Rp 2.500-3.500 per dollarnya. Akibatnya, memang secara jelas, masyarakat bisa membeli segala sesuatu dengan murah. Inflasi yang gila-gilaan di akhir periode Orde Lama, berhasil dikendalikan. Dengan menerapkan pertumbuhan ekonomi melalui hadirnya berbagai unit usaha bagi masyarakat kecil, sebagian besar masyarakat di pedesaan memang menikmati hasilnya. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana Soeharto bisa mengubah wajah Indonesia.
Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mengubah diri dari negara terbesar dalam mengimpor beras, akhirnya menjadi negara berswasembada pangan. Lebih dari 3 juta ton padi dihasilkan setiap tahunnya. Bandingkan dengan sekarang yang justru defisit lebih dari 1 juta ton setiap tahun. Meski bukan lulusan sekolah ekonomi, mantan Presiden itu dikenal lihai memotivasi para petani dan nelayan. Mereka dikunjungi dan diberikan motivasi untuk bisa memajukan pekerjaannya, sehingga menjadi petani adalah kebanggaan. Bahkan beliau dikenal suka memperkenalkan diri sebagai ”anak petani”, untuk meningkatkan gairah dan harga diri para petani. Bukan hanya dalam bidang pertanian, salah satu sukses besar Orde Baru adalah dalam bidang kesehatan dan KB. Karena adanya kesadaran bahwa daya pembangunan akan terserap oleh jumlah penduduk, maka mantan Presiden Soeharto membangun dan menggalakkan program KB. Ia mencanangkan berbagai upaya mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui berbagai upaya yang pada gilirannya berhasil mengerem laju pertumbuhan penduduk kita. Di bidang kesehatan, upaya meningkatkan kualitas bayi dan masa depan generasi ini dilakukan melalui program kesehatan di posyandu, sebuah upaya yang mengintegrasikan antara program pemerintah dengan kemandirian masyarakat.
Di jamannya, program ini memang sangat populer dan berhasil. Banyak ibu berhasil dan peduli atas kebutuhan balita mereka di saat paling penting dalam periode pertumbuhannya. Yang tidak kalah penting adalah, karena Indonesia memiliki prospek yang sangat baik, terutama dalam menjaga kawasan baik di Asia Tenggara dan Asia, serta masa depan Indonesia yang dianggap sebagai macan Asia, Soeharto dan bangsa Indonesia memiliki kebanggaan tersendiri. Negara lain yang kini terang-terangan berani ”mengganggu” keberadaan kita seperti Malaysia dan Singapura, dulu tidak pernah menganggap Indonesia serendah sekarang. Jujur kita sampaikan bahwa dulu, kita sangat bangga karena kita punya banyak kiprah dalam memajukan wilayah ini. Semuanya hanya sekelumit kisah supaya kita memandang jasa mantan Presiden Soeharto dalam konteks yang berimbang, meski kita tahu ada masa dimana beliau digunakan sebagai alat oleh orang-orang yang ingin memperkaya diri dan menguntungkan kelompok tertentu. Itu adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Pertanyaan berikutnya kepada para pemimpin sekarang adalah, sanggupkah mereka mengembalikan kebanggaan dan kejayaan yang pernah sangat menggetarkan hati itu? Ini adalah tantangan bagi mereka.
Dalam hal ini, jurnalis memiliki tujuan mendamaikan seluruh warga Indonesia dengan mantan Presiden Indonesia yang pernah memiliki masa lalu yang kejam. Lewat info ini, yang ditekankan bukanlah kejahatan-kejahatan Soeharto, bukan masalah korupsinya, namun jasa-jasanya, kebaikan-kebaikan Beliau bagi Indonesia. Tujuan berita ini tentu agar tidak ada lagi dendam yang tertinggal antara masyarakat Indonesia dengan Soeharto.
3.    Jurnalisme Perang
Meliput peristiwa konflik (kekerasan), pada dasarnya merupakan sesuatu yang wajar bagi pers. Salah satu kriteria untuk mengukur apakah suatu peristiwa layak diberitakan atau tidak adalah kandungan unsur konflik itu sendiri. Semakin keras konflik yang terkandung dalam suatu peristiwa, semakin tinggi nilai beritanya. Rumus seperti ini, masih banyak dianut oleh kalangan jurnalis. Akibatnya ketika meliput suatu konflik (etnis), orientasi liputan yang dominan terbingkai dalam apa yang disebut sebagai jurnalisme perang (war journalism). Liputan jurnalis lebih berorientasi pada peristiwa kekerasannya itu sendiri. Jurnalisme perang lebih berfokus pada arena atau tempat dimana konflik itu terjadi, jumlah korban yang mati, penderitaan korban, rumah yang hancur atau harta benda yang terbakar. Dengan kata lain, jurnalisme perang lebih suka mengeksploitasi the visible effect of violance, korban kekerasan yang tampak, dibanding yang tidak tampak. Akibatnya jurnalisme perang secara tidak sadar juga menggiring publik untuk memihak pada salah satu pihak yang bertikai. Ini bisa dimaklumi karena dalam proses liputan, jurnalisme perang selalu menggunakan kacamata “kita-mereka”.
Contoh Jurnalisme Perang
Belakangan berita tentang kenaikan harga minyak goreng disusul susu begitu provokatifnya tersiar di televisi sehingga tak sedikit membikin resah kaum menengah bawah yang dengan penghasilan pas-pasan. Tulisan ini tidak akan mengomentari mengapa harga itu harus tinggi, itu sudah banyak ditulias dan dibahasa serta diseminarkan dan sudah mejadi tangung jawab moral bersama untuk mencari solusinya. Disebut bersama karena jangan hanya pemerintah saja yang harsu menanggung beban moral atas kenaikan ini. Harga CPO dan susu segar dunia yang meroket bukan tanggung jawab pemerintah untuk menurunkan karena bagaimanapun juga pasar bebas dunia sudah berlaku di negeri ini. Pemberitaan kenaikan susu sering diiringi dengan pemberitaan adanya anak yang diberi tajin sebagai pengganti susu karena harga yang tak terjangkau lagi. Parahnya sebagian pemberitaan juga mengekspose anak yang terkena penyakit HO atau busung lapar. Sudah begitu, text yang dibaca pembawa berita menyebutkan busung lapar ini akibat kenaikan harag susu yang melambung tinggi.
Berita ini memiliki tujuan untuk memberi informasi bagi masyarakat, dan mungkin sebenarnya merupakan tujuan yang baik. Namun di luar itu, berita ini memiliki sifat provokasi, sehingga bukan tidak mungkin masyarakat terdorong untuk marah, dan akhirnya menimbulkan perang antara Pemerintahan dengan masyarakat Indonesia.
4.    Jurnalisme Advokasi:
Jurnalisme Advokasi adalah kegiatan jurnalistik yang dilakukan wartawan dengan cara menyuntikkan opini pada beritanya. Adi dalam berita tersebut, ada suatu opini yang dimasukkan dengan tujuan mempersuasi. Dengan demikian, advokasi bukanlah tindakan terlarang bagi jurnalis. Namun, jurnalisme advokasi sangat berbeda dengan propaganda. Jika propaganda secara sepihak memenangkan salah satu kubu, maka jurnalisme advokasi memberikan dukungan dengan cara menyoroti orang-orang tanpa daya yang memiliki komitmen untuk memperbaiki kepentingan umum.
Ø Contoh Jurnalisme Advokasi:
Sungguh malang menjadi guru di Indonesia! Penghasilan mereka sedemikian kecil. Itu pun sering dipotong tanpa alasan yang jelas. Aksi unjuk rasa ribuan guru untuk menuntut realisasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hanya ditanggapi pemerintah dalam bentuk janji-janji yang tidak pasti. Tragedi yang dialami para guru semakin meninggi. Kejujuran mereka untuk mengungkap kebusukan justru membuahkan pemecatan. Itulah yang dialami kalangan guru yang terhimpun dalam Komunitas Air Mata Guru (KAMG). Sebanyak 27 dari 30 guru dalam organisasi KAMG yang menyingkap kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2007 di Medan dikenai sanksi. Sebagian besar dipecat dan yang lainnya dikurangi jam mengajarnya oleh pihak sekolah tempat mereka mengabdi. KAMG menunjukkan bahwa kecurangan itu melibatkan pihak sekolah dan dijalankan secara sistematis bersama Kantor Diknas setempat (Media Indonesia, 20 Juli 2007). Peristiwa serupa terjadi di Bandung. Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), yang juga adalah anggota tim pemantau UN 2007 dari Dewan Pendidikan Kota Bandung, terancam sanksi penundaan kenaikan pangkat. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang memiliki keharusan moral untuk melindungi para guru, ironisnya, menunjukkan sikap masa bodoh. Gejala ini dapat disimak dari pernyataan Mendiknas Bambang Sudibyo yang menegaskan, Depdiknas tidak akan memberikan perlindungan kepada guru yang mengungkapkan adanya dugaan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Perlindungan hukum, tegas Mendiknas, adalah tugas kepolisian.
Apakah yang dapat dijalankan kalangan jurnalis ketika menghadapi peristiwa sosial semacam ini? Haruskah para jurnalis sekadar berdiam diri dengan berdalih pada objektivitas pemberitaan? Apakah jurnalis harus membela atau mengadvokasi para guru yang berada dalam situasi dipinggirkan? Memang, jurnalisme dan advokasi merupakan dua hal yang sangat berlainan. Jurnalisme adalah aktivitas mengumpulkan dan menyebarkan fakta dalam bentuk berita. Kegiatan ini dilakukan jurnalis yang bekerja dalam lembaga media massa. Advokasi merupakan tindakan pembelaan yang dijalankan aktivis sosial untuk mendukung perjuangan mereka yang dilemahkan. Jurnalisme menuntut wartawan mempraktikkan objektivitas. Advokasi menuntut aktivis menjalankan dukungan berdasarkan pada subjektivitas. Dalam jurnalisme, KAMG yang membongkar kecurangan pelaksanaan UN itu disebut sebagai ”peniup peluit” (whistleblower). Mereka melaporkan ketidakberesan kepada pihak yang berwenang supaya ada tindakan korektif untuk memperbaiki keadaan. Jika pihak yang memiliki otoritas justru menyudutkan kedudukan mereka, dengan dalih mencermarkan nama baik misalnya, selayaknya jurnalis mengadvokasi whistleblower ini. Bukan untuk menciptakan sensasi atau menambah kontroversi jika jurnalis melakukan advokasi. Tujuan jurnalis dalam kasus ini adalah membeberkan peristiwa beraroma skandal yang menggerogoti dunia pendidikan.
5.    Jurnalisme Kolaborasi:
Jurnalisme Kolaborasi adalah pengganti dari Jurnalisme Presisi. Jurnalisme Kolaborasi menjadi menarik karena mengusung interaktif, akrab, dan dekat satu sama lain. Orang akan dengan mudah mengeluarkan suaranya. Puluhan ribu orang di luar sana dapat membuat sesuatu yang besar hanya dalam hitungan menit. Hasilnya tak kalah dahsyat dengan besutan jurnalis profesional. Interaktivitas itu dapat dengan cepat menyebar karena fasilitas blog yang menjamur. Dengan adanya blog, semua orang bisa mencurahkan isi hatinya. Tanpa batas. Tanpa merasa perlu melanggar kaidah. Bahkan kaidah jurnalistik sekalipun. Tak akan ada yang protes. Tak dapat dielakkan adanya komentar, baik pro maupun kontra. Tetapi justru disanalah indahnya kebersamaan jurnalisme kolaborasi. Tak perlu mengindahkan hal paling penting dalam kaidah jurnalistik bernama validitas data. Jurnalisme presisi mungkin akan tetap berharga di hadapan media massa tradisional. Pada jurnalisme presisi, perkembangan jurnalisme memfokus pada kerja pencarian data. Arah kerja jurnalistik membentuk ukuran ketepatan informasi empirik. Hasil liputan ditujukan untuk mencapai kredibilitas bagi penginterpretasian masyarakat. Mereka menargetkan akan informasi yang terukur. Kini, masyarakatlah yang akan menentukan. Tetapi bisa dipastikan jurnalisme kolaborasi akan menempati garda terdepan dalam peran eksplorasi ide dan emosi. Itulah yang diinginkan masyarakat. Jadi kesimpulannya, Jurnalisme Kolaborasi adalah sistem jurnalis baru dimana sumber informasinya diperoleh dari kolaborasi hasil pemikiran masyarakat luas melalui dunia internet atau blog pribadi tiap orang.
Contoh Jurnalisme Kolaborasi
BLOGGER MALAYSIA MENANGI PEMILU 2008     
Setidaknya dua orang blogger Malaysia berhasil memenangkan Pemilu 2008 di wilayahnya masing-masing. Tony Pua Kiam Wee, yang bertarung memperebutkan kursi Parlemen di Petaling Jaya Utara, Selangor, berhasil memperoleh suara sebanyak 37.851 dari total suara yang masuk sebanyak 76.618. Perolehan suara Tony tersebut dua kali lipat dari perolehan Datin Paduka Chew Mei Fun yang dicalonkan partai yang berkuasa, Barisan Nasional. Sementara di daerah pemilihan Rembau, Negeri Sembilan, Jeff Oii Chuan Aun berhasil meraup 30.493 suara, menggungguli Dr. Thor Teong Ghee dari Barisan Nasional yang mendapatkan suara sebanyak 14.247. Kemenangan Tony Pua dan Jeff Ooi ini tentu saja disambut gembira para pendukungnya, terutama para blogger yang ramai-ramai mengucapkan selamat di blognya. Apa yang bisa ditarik dari kemenangan tersebut? Meski bisa saja menyimpulkan bahwa popularitas mereka di dunia blogospehere lah yang telah mendorong kemenangan tersebut, namun satu hal yang pasti, mereka dengan cerdik telah memanfaatkan blog sebagai medium yang pas untuk memuat dan menyampaikan gagasan-gagasannya, karena meskipun diawasi, namun masih bisa lebih bebas dibanding media konvensional. Para blogger tersebut tampaknya ingin membuktikan bahwa blogger bukanlah pengecut seperti yang dikatakan Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia Azalina Othman, apalagi pembohong seperti yang dikatakan pakar ini. Para blogger tersebut ingin mengatakan bahwa apa yang disampaikan dalam blognya adalah bukan merupakan kebohongan dan tidak ada identitas penulisnya yang disembunyikan. Sehingga jika terdapat ketidakbenaran subtansi dalam blog, pembaca mestinya tahu kemana harus memintakan penjelasan semestinya. Selain itu, para blogger yang terjun ke politik tersebut juga menyadari sepenuhnya bahwa upaya membangun pertemanan di dunia maya dapat ditindaklanjuti ke dunia nyata, melalui berbagai macam kopdar, tanpa harus menjadi autis saat bertemu. Kalau kedua blogger Malaysia tersebut telah menunjukkan efektifitas blog sebagai medium berpolitiknya, ditengah kekangan pemerintahnya terhadap media massa konvensional, maka blogger Indonesia tentunya dapat melakukan hal serupa. Bahkan mungkin lebih baik karena media di Indonesia jauh lebih bebas. Karenanya jika terdapat blogger Indonesia yang ingin berpolitik, meski sebelumnya telah memiliki profesi sendiri seperti Dosen, Praktisi IT, Sutradara, Artis, Pengamat, Olahragawan, Ustad, Wartawan dan sebagainya, sebaiknya profesional saja. Ketika akhirnya memutuskan terjun ke dunia politik, jadilah politisi yang sungguhan alias benar-benar profesional, bukan sekedar jadi politisi karena ada yang menawari. Dengan keahlian dan latar belakang profesi yang dimilikinya, tentunya akan memudahkan dalam menjalankan tugasnya saat terpilih sebagai pejabat politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Diharapkan, Kebijakan-kebijakan atau berbagai peraturan yang dihasilkannya bisa lebih didasarkan pada nurani dan pertimbangan profesionalisme.
6.    Jurnalisme Investigasi:
Jurnalisme Investigasi adalah sebuah metode peliputan untuk menyibak kebenaran kasus atau peristiwa. Wartawan investigasi dituntut agar mampu melihat celah pelanggaran, menelusurinya dengan energi reportase yang besar, membuat hipotesis, menganalisis, dan pada akhirnya menuliskan laporannya. Jurnalisme investigasi ada ketika terjadi penyimpangan dalam suatu tatanan masyarakat. Pers punya peranan sangat penting untuk dapat menginformasikan peristiwa yang menyimpang itu. Tidak berhenti sampai titik ini, pers juga bisa melangkah jauh mengusut kesalahan, menemukan kebenaran, dan mengadakan perubahan. Jurnalisme investigasi adalah sebuah paham yang sudah lama muncul di Amerika Serikat pada abad ke-17. Genre ini merasuki media massa di Indonesia kala Orde Baru. Media massa cetak yang pertama kali menggunakannya adalah Harian Indonesia Raya, di bawah asuhan Mochtar Lubis. Kondisi politik dan ekonomi suatu negara amat sangat mempengaruhi kemunculan dan pertumbuhan jurnalisme investigasi.
Contoh Jurnalisme Investigasi:
Sekelebat, pentungan mendarat tepat di tubuh tikus berkumis panjang. Tak berdaya, tikus lalu dimasukan kedalam ember hitam. Tempat semua tikus sawah dan got hasil tangkapan dikumpulkan. Malam itu, Edi--bukan nama sebenarnya--tidak sedang membersihkan sawah dari hama yang bernama tikus. Edi juga tidak berburu tikus got untuk membersihkan lingkungan
disekitar rumah. Dia Berburu tikus untuk mengoplosnya dengan daging sapi. Kabarnya, daging-daging itu dipersiapkan untuk membuat BAKSO. BENARKAH? Apakah Edi benar-benar tega mencampur daging sapi dengan daging tikus? Atau cerita diatas hanya isapan jempol belaka? Banyak kisah, dongeng, isu, gosip tentang bakso tikus yang beredar di masyarakat. Tim investigasi REPORTASE Trans TV menelusuri keberadaan bakso tikus ini. Surprise ! Kami menemukan praktik penjualan bakso tikus. Bukan hanya itu, dipasaran ternyata bakso juga tercampur dengan 6 zat kimia mematikan. termasuk bahan boraks alias bahan baku deterjen dan lem kayu. Mual? Jangan dulu ! Sebab tidak semua bakso yang beredar mengandung boraks apalagi daging tikus. Lalu apa perbedaannnya? Dimana dijualnya?
Wartawan Reportase Investigasi Trans TV yang menyelidiki tentang masalah bakso tikus ini sedang menjalankan sistem jurnalisme Investigasi. Dimana narasumber harus disembunyikan identitasnya, harus ada kamera tersembunyi, alat perekam tersembunyi, dan lain sebagainya. Tujuannya agar masyarakat luas tahu tentang kebenaran dan pada akhirnya dapat lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi bakso yang akan mereka makan.


1 komentar: