A. Pengertian Ragam atau Bahasa
Jurnalistik
Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
sangatlah penting di dalam pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan
teknologi. Namun, di dalam penggunaannya Bahasa Indonesia telah mengalami
perkembangan di dalam cara penggunaannya di setiap kondisi dan situasi yang
berbeda-beda. Hal itulah yang menimbulkan ragam bahasa di dalam Bahasa
Indonesia. Salah satu ragam bahasa yang banyak dan paling sering kita temui
adalah ragam bahasa jurnalistik yang akan diulas disini.
Sebelum mengetahui lebih jauh bagaimana dan hal apa
yang harus diperhatikan di dalam ragam bahasa Jurnalistik, perlu diketahui
bahwa ragam bahasa jurnalistik bukan hanya sekedar menggunakan bahasa baku
namun juga harus lebih menekankan pada daya kekomunikatifannya, karena
sebenarnya kita melakukan komunikasi dengan pembaca melalui tulisan yang kita
buat.
Secara harfiah (etimologis, asal usul kata),
jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya
laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day)
atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek
artinya penyiaran catatan harian.
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa
pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping
terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis),
ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995).
Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang
membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa
jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam
menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian, bahasa
Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai
bahasa jurnalistik atau bahasa pers.
Bahasa jurnalistik itu
sendiri juga memiliki karakter
yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa
jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih
cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan
features. Bahkan bahasa jurnalistik pun
sekarang sudah memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch,
2000). Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama ada yang
menyebut laporan utama, forum utama akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang
digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang
dapat mempengaruhi karakteristik bahasa
jurnalistik karena penentuan masalah,
angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Namun
demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang
dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata,
struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000). Karena berbagai keterbatasan yang
dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang
khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik.
Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa
dalam masyarakat.
Sifat-sifat tersebut
merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam bahasa jurnalistik mengingat surat
kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat
pengetahuannya. Dengan kata lain bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran
intelektual minimal. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup
waktu untuk membaca surat kabar. Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat
mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada
pembaca secepatnya dengan mengutamakan
daya komunikasinya.
B. Prinsip Dasar Ragam atau Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa
sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang
demikian itu bahasa jurnalistik itu
harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut
JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat,
padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus
dimiliki oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca
oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh
karena itu beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik di antaranya:
1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan
yang panjangdanbertele-tele.
2. Padat,
artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi
yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya.
3. Sederhana,
artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana,
bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif,
praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya
(bombastis).
4. Lugas,
artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi
secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga.
5. Menarik,
artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan
berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
6. Jelas,
artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh
khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan
penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau
bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa jurnalistik
menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Namun seringkali kita masih
menjumpai judul berita: Tim Ferrari Berhasil Mengatasi Rally Neraka Paris-Dakar. Jago
Merah Melahap Mall Termewah di Kawasan Jakarta. Polisi Mengamankan Oknum Pemerkosa dari Penghakiman Massa.
Dalam menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya
diperlukan latihan berbahasa tulis yang terus-menerus, melakukan penyuntingan
yang tidak pernah berhenti. Dengan berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan,
barangkali akan bisa diwujudkan keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam
bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan dahaga selera
pembacanya.
Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik
merupakan perwujudan dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday
(1972) sebagai fungsi ideasional dan
fungsi tekstual atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan
fakta-fakta. Namun, persoalan muncul bagaimana cara mengkonstruksi bahasa
jurnalistik itu agar dapat menggambarkan fakta yang sebenarnya. Persoalan ini
oleh Leech (1993) disebut retorika
tekstual yaitu kekhasan pemakai bahasa
sebagai alat untuk mengkonstruksi teks. Dengan kata lain prinsip ini
juga berlaku pada bahasa jurnalistik.
Terdapat empat prinsip
retorika tekstual yang dikemukakan
Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan
prinsip ekspresifitas.
1. Prinsip prosesibilitas
Menganjurkan agar teks disajikan
sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya.
Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan
menjadi satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya
masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu.
Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
2. Prinsip kejelasan
Yaitu agar teks itu mudah dipahami.
Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity).
Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
3. Prinsip ekonomi
Prinsip ekonomi menganjurkan agar
teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat
dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam
memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang wacana jurnalistik
dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang
singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen
sintaksis yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi.
Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen
sintaktik banyak dijumpai dalam wacana jurnalistik
4. Prinsip ekspresivitas
Prinsip ini dapat pula disebut
prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras
dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas
dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu
baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi
berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih
dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.
Dengan pemaparan diatas dapat kita
simpulkan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan para jurnalis
di dalam menulis berita. Bahasa jurnalistik dapat dikatakan menggunakan bahasa
baku namun tetap menekankan pada sisi kekomunikatifannya. Bahasa jurnalistik
juga memiliki ciri-ciri khas yakni singkat, padat, sederhana, lugas, menarik,
lancar dan jelas.
Selain itu, pemakai bahasa
jurnalistik yang baik tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis paragraf yang baik tentu
memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula. Paragraf yang berhasil
tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga menunjukkan kesatuan dalam
isinya.
C. Ciri Ragam atau Bahasa Jurnalistik
Ada 19 ciri bahasa Indonesia jurnalistik yang
disimpulkan oleh Abdul Chaer yang mengutip dari H. Rosihan Anwar dan John
Hohenberg.
1.
Sesuai dengan ejaan yang berlaku.
2.
Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku.
3.
Tidak menanggalkan prefik me- dan ber- , kecuai dalam
judul berita.
4.
Menggunakan kalimat pendek, lengkap, dan logis.
5.
Tiap alinea terdiri dari 2 atau tiga kalimat dan
koherensinya terpelihara.
6.
Penggnaan bentuk aktif (kata dan kalimat) lebih
diutamakan. Bentuk pasif seperlunya saja. Kata sifat juga dibatasi penggunaannya.
7.
Ungkapan-ungkapan klise seperti: sementara itu,
perlu diketahui, di mana, kepada siapa dan sebagainya dihindari.
8.
Kata berlebihan tidak digunakan.
9.
Kalimat aktif dan pasif tidak dicampuradukkan dalam
satu paragraf.
10.
Kata asing dan istilah ilmiah yang sangat teknis tidak
digunakan. Kalau terpaksa harus dijelaskan.
11.
Penggunaan singkatan dan akronim dibatasi. Pada
pertama kali singkatan dan akronim digunakan harus diberi penjelasan
kepanjangannya.
12.
Penggunaan kata yang pendek didahulukan daripada kata
yang panjang.
13.
Tidak menggunakan kata ganti orang pertama (saya dan
kami), berita harus menggunakan kata ganti orang ketiga.
14.
Kutipan ditempatkan pada alinea baru.
15.
Memasukkan pendapat sendiri dalam berita.
16.
Berita disajikan dalam bentuk past tense
sesuatu yang telah terjadi.
17.
Kata hari ini digunakan dalam media elektronik
dan harian sore. Sedangkan kata kemarin digunakan harian pagi hari.
18.
Segala sesuatu dijelaskan secara spesifik.
19.
Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikatif, mudah
dipahami bagi pembaca
D. Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik
dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku:
1. Peyimpangan
morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat
kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan
penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan
dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat
Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
2. Kesalahan
sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang
kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika
yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan
Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul
tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa
Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus
serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.
3. Kesalahan
kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme)
atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh
Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit diganti kejahatan. Dalam
konflik Dayak- Madura, jelas bahwa yang bertikai adalah Dayak dan Madura,
tetapi wartawan tidak menunjuk kedua etnis secara eksplisit. Bahkan di era
rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose
merupakan kosakata yang menekan seperti GPK, subversif, aktor intelektual,
ekstrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustrasi, golongan anti pembangunan,
dll. Bahkan di era kebebasan pers seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian
kosakata yang bias makna semakin banyak.
4. Kesalahan
ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo
yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan.
Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis
Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis
singkron, dll.
5. Kesalahan
pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal
penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih
menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi
dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti
diuraikan di atas adalah melakukan kegiatan penyuntingan baik menyangkut
pemakaian kalimat, pilihan kata, dan ejaan. Selain itu, pemakai bahasa
jurnalistik yang baik tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik.
Syarat untuk menulis paragraf yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis
kalimat yang baik pula. Paragraf yang berhasil tidak hanya lengkap
pengembangannya tetapi juga menunjukkan kesatuan dalam isinya. Paragraf menjadi
rusak karena penyisipan-penyisipan yang
tidak bertemali dan pemasukan kalimat topik kedua atau gagasan pokok lain ke
dalamnya.
Oleh karena itu seorang penulis seyogyanya
memperhatikan pertautan dengan (a) memperhatikan kata ganti; (b) gagasan yang
sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi
kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan
urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau
mengulang fungsi khusus. Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian
kalimat yang berbeda menurut struktur
gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan (3)
pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan
dengan selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo” menggunakan kalimat-kalimat yang
pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai
wartawan yang pernah bersentuhan dengan majalah Tempo.
Agar penulis mampu memilih kosakata yang tepat
mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan
teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat
mensejajarkan kelas kata yang sama yang nuansa maknanya sama atau berbeda.
Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya.
Dengan cara ini penulis bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna
bagi pembaca. Jika dianalogikan dengan makanan, semua makanan memiliki fungsi
sama, tetapi setiap orang memiliki selera makan yang berbeda. Tugas jurnalis
adalah melayani selera pembaca dengan jurnalistik yang enak dibaca dan perlu. (Slogan Tempo).
E. Contoh Jurnalisme
1. Jurnalisme Kemanusiaan
Teknik pengumpulan informasi dari
narasumber dengan rasa kemanusiaan atau rasa iba. Dengan memiliki rasa empati,
seorang jurnalis dapat menghilangkan jarak antara dirinya dengan narasumber,
sehingga informasi yang mendalam-pun dapat diperoleh pada akhirnya melalui
narasumber.
Jadi, jurnalisme kemanusiaan adalah
jurnalisme yang didasarkan pada esensi dasar kemanusiaan atau nilai-nilai kemanusiaan.
Kegiatan jurnalistik yang merendahkan martabat manusia seperti pemberitaan
kekejaman perang yang berakibat semakin jauhnya dari perdamaian bukan
jurnalisme kemanusiaan. Tetapi, peliputan pemberitaan yang menyeimbangkan dari
semua pihak (all sides) yang bertikai dan secara adil misalnya, masuk dalam
kriteria jurnalisme kemanusiaan. Sementara itu, jurnalisme non kemanusiaan
adalah bertolak belakang dengan jurnalisme kemanusiaan itu sendiri dengan tidak
memegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan. Berita yang dibuat asal jadi
dengan tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan, merendahkan martabat
kemanusiaan adalah contoh jurnalisme non kemanusiaan.
Ø Contoh
Jurnalisme Kemanusiaan:
Seorang wartawan yang dalam
kegiatannya sehari-hari diabdikan diri untuk kemanusiaan, menegakkan
nilai-nilai kemanusiaan, selalu mempertimbangkan fakta yang diliput secara
adil, seimbang dan memperhatikan dampak yang ditimbulkannya adalah seorang
humanis. Seorang wartawan karena idealisme kemanusiaan menolak penugasan dari
atasannya yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani dan nilai-nilai
kemanusiaan adalah seorang humanis pula.
Seorang wartawan yang ditugaskan untuk mewawancara
korban kecelakaan pesawat yang wajahnya telah hancur, dan sekujur tubuhnya
telah terbakar api dari kecelakaan, tentu harus diberi pendekatan yang lembut.
Wartawan yang bertugas harus memiliki rasa iba, empati, rasa kemanusiaan,
hingga narasumber yang akan diwawancara dapat merasa dihargai, tidak
direndahkan, dan akhirnya mau terbuka untuk berbagi pengalaman dan informasi.
2.
Jurnalisme Perdamaian
"Jurnalisme
Damai" adalah jenis jurnalisme yang lebih mengarah pada penyampaian
informasi yang berdampak pada perdamaian. Istilah ini bisa saja digunakan untuk
membedakan dari "jurnalisme perang". Yakni jenis jurnalisme yang
mengobarkan peperangan dengan penyampaian informasi yang bersifat provokatif,
intimidasi, dan desas-desus. Penganut paradigma jurnalisme perang tidak hanya
mengobarkan konflik tetapi juga memotret kekerasan secara telanjang. Istilah
jurnalisme damai ini mulai diperkenalkan kali pertama oleh Profesor Johan
Galtung, ahli studi pembangunan pada 1970-an. Galtung mencermati, banyak
jurnalisme perang yang mendasarkan kerja jurnalistiknya pada asumsi yang sama,
seperti halnya para jurnalis yang meliput olahraga. Yang ditonjolkan hanyalah
kemenangan dan kekalahan dalam "permainan kalah-menang" antardua
pihak yang berhadapan. Jenis jurnalisme damai disosialisasikan secara intensif
di berbagai negara di dunia, khususnya di wilayah-wilayah konflik mulai akhir
1980-an. Di Indonesia, jurnalisme damai menjadi sebuah wacana ketika terjadi
konflik Ambon, menyusul konflik-konflik lain atas dasar SARA.
Contoh Jurnalisme Damai:
MERENUNGKAN
JASA SOEHARTO
Harus diakui
bahwa meninggalnya mantan Presiden Soeharto membuat kita mencoba merefleksikan
ulang, bahwa negeri ini pernah berada pada titik puncak keberhasilan
pembangunan. Jujur kita katakan bahwa di jamannya memerintah, bangsa kita
pernah menikmati betapa mudahnya hidup kala itu. Bagi sebagian masyarakat, di
jaman Soeharto, kehidupan memang tidak sesulit sekarang.
Kini,
harga-harga mahal, bahkan kebutuhan pokok amat mahal. Pada periode 1980-1993,
pemerintah memang memiliki kemampuan untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi
melalui pertumbuhan sekitar 8 persen setahun dengan nilai tukar terhadap dollar
Amerika sekitar Rp 2.500-3.500 per dollarnya. Akibatnya, memang secara jelas,
masyarakat bisa membeli segala sesuatu dengan murah. Inflasi yang gila-gilaan di
akhir periode Orde Lama, berhasil dikendalikan. Dengan menerapkan pertumbuhan
ekonomi melalui hadirnya berbagai unit usaha bagi masyarakat kecil, sebagian
besar masyarakat di pedesaan memang menikmati hasilnya. Yang tidak kalah
penting adalah bagaimana Soeharto bisa mengubah wajah Indonesia.
Pada tahun
1984, Indonesia berhasil mengubah diri dari negara terbesar dalam mengimpor
beras, akhirnya menjadi negara berswasembada pangan. Lebih dari 3 juta ton padi
dihasilkan setiap tahunnya. Bandingkan dengan sekarang yang justru defisit
lebih dari 1 juta ton setiap tahun. Meski bukan lulusan sekolah ekonomi, mantan
Presiden itu dikenal lihai memotivasi para petani dan nelayan. Mereka
dikunjungi dan diberikan motivasi untuk bisa memajukan pekerjaannya, sehingga menjadi
petani adalah kebanggaan. Bahkan beliau dikenal suka memperkenalkan diri
sebagai ”anak petani”, untuk meningkatkan gairah dan harga diri para petani.
Bukan hanya dalam bidang pertanian, salah satu sukses besar Orde Baru adalah
dalam bidang kesehatan dan KB. Karena adanya kesadaran bahwa daya pembangunan
akan terserap oleh jumlah penduduk, maka mantan Presiden Soeharto membangun dan
menggalakkan program KB. Ia mencanangkan berbagai upaya mengendalikan
pertumbuhan penduduk melalui berbagai upaya yang pada gilirannya berhasil
mengerem laju pertumbuhan penduduk kita. Di bidang kesehatan, upaya
meningkatkan kualitas bayi dan masa depan generasi ini dilakukan melalui
program kesehatan di posyandu, sebuah upaya yang mengintegrasikan antara
program pemerintah dengan kemandirian masyarakat.
Di jamannya,
program ini memang sangat populer dan berhasil. Banyak ibu berhasil dan peduli
atas kebutuhan balita mereka di saat paling penting dalam periode
pertumbuhannya. Yang tidak kalah penting adalah, karena Indonesia memiliki
prospek yang sangat baik, terutama dalam menjaga kawasan baik di Asia Tenggara
dan Asia, serta masa depan Indonesia yang dianggap sebagai macan Asia, Soeharto
dan bangsa Indonesia memiliki kebanggaan tersendiri. Negara lain yang kini
terang-terangan berani ”mengganggu” keberadaan kita seperti Malaysia dan
Singapura, dulu tidak pernah menganggap Indonesia serendah sekarang. Jujur kita
sampaikan bahwa dulu, kita sangat bangga karena kita punya banyak kiprah dalam
memajukan wilayah ini. Semuanya hanya sekelumit kisah supaya kita memandang
jasa mantan Presiden Soeharto dalam konteks yang berimbang, meski kita tahu ada
masa dimana beliau digunakan sebagai alat oleh orang-orang yang ingin
memperkaya diri dan menguntungkan kelompok tertentu. Itu adalah sebuah fakta
yang tidak terbantahkan. Pertanyaan berikutnya kepada para pemimpin sekarang
adalah, sanggupkah mereka mengembalikan kebanggaan dan kejayaan yang pernah
sangat menggetarkan hati itu? Ini adalah tantangan bagi mereka.
Dalam hal
ini, jurnalis memiliki tujuan mendamaikan seluruh warga Indonesia dengan mantan
Presiden Indonesia yang pernah memiliki masa lalu yang kejam. Lewat info ini,
yang ditekankan bukanlah kejahatan-kejahatan Soeharto, bukan masalah
korupsinya, namun jasa-jasanya, kebaikan-kebaikan Beliau bagi Indonesia. Tujuan
berita ini tentu agar tidak ada lagi dendam yang tertinggal antara masyarakat
Indonesia dengan Soeharto.
3. Jurnalisme
Perang
Meliput peristiwa konflik
(kekerasan), pada dasarnya merupakan sesuatu yang wajar bagi pers. Salah satu
kriteria untuk mengukur apakah suatu peristiwa layak diberitakan atau tidak
adalah kandungan unsur konflik itu sendiri. Semakin keras konflik yang
terkandung dalam suatu peristiwa, semakin tinggi nilai beritanya. Rumus seperti
ini, masih banyak dianut oleh kalangan jurnalis. Akibatnya ketika meliput suatu
konflik (etnis), orientasi liputan yang dominan terbingkai dalam apa yang
disebut sebagai jurnalisme perang (war journalism). Liputan jurnalis lebih
berorientasi pada peristiwa kekerasannya itu sendiri. Jurnalisme perang lebih
berfokus pada arena atau tempat dimana konflik itu terjadi, jumlah korban yang
mati, penderitaan korban, rumah yang hancur atau harta benda yang terbakar.
Dengan kata lain, jurnalisme perang lebih suka mengeksploitasi the visible effect
of violance, korban kekerasan yang tampak, dibanding yang tidak tampak.
Akibatnya jurnalisme perang secara tidak sadar juga menggiring publik untuk
memihak pada salah satu pihak yang bertikai. Ini bisa dimaklumi karena dalam
proses liputan, jurnalisme perang selalu menggunakan kacamata “kita-mereka”.
Contoh
Jurnalisme Perang
Belakangan berita tentang kenaikan
harga minyak goreng disusul susu begitu provokatifnya tersiar di televisi
sehingga tak sedikit membikin resah kaum menengah bawah yang dengan penghasilan
pas-pasan. Tulisan ini tidak akan mengomentari mengapa harga itu harus tinggi,
itu sudah banyak ditulias dan dibahasa serta diseminarkan dan sudah mejadi
tangung jawab moral bersama untuk mencari solusinya. Disebut bersama karena
jangan hanya pemerintah saja yang harsu menanggung beban moral atas kenaikan
ini. Harga CPO dan susu segar dunia yang meroket bukan tanggung jawab
pemerintah untuk menurunkan karena bagaimanapun juga pasar bebas dunia sudah
berlaku di negeri ini. Pemberitaan kenaikan susu sering diiringi dengan
pemberitaan adanya anak yang diberi tajin sebagai pengganti susu karena harga
yang tak terjangkau lagi. Parahnya sebagian pemberitaan juga mengekspose anak
yang terkena penyakit HO atau busung lapar. Sudah begitu, text yang dibaca
pembawa berita menyebutkan busung lapar ini akibat kenaikan harag susu yang melambung
tinggi.
Berita ini memiliki tujuan untuk
memberi informasi bagi masyarakat, dan mungkin sebenarnya merupakan tujuan yang
baik. Namun di luar itu, berita ini memiliki sifat provokasi, sehingga bukan
tidak mungkin masyarakat terdorong untuk marah, dan akhirnya menimbulkan perang
antara Pemerintahan dengan masyarakat Indonesia.
4. Jurnalisme Advokasi:
Jurnalisme Advokasi adalah kegiatan
jurnalistik yang dilakukan wartawan dengan cara menyuntikkan opini pada
beritanya. Adi dalam berita tersebut, ada suatu opini yang dimasukkan dengan
tujuan mempersuasi. Dengan demikian, advokasi bukanlah tindakan terlarang bagi
jurnalis. Namun, jurnalisme advokasi sangat berbeda dengan propaganda. Jika
propaganda secara sepihak memenangkan salah satu kubu, maka jurnalisme advokasi
memberikan dukungan dengan cara menyoroti orang-orang tanpa daya yang memiliki
komitmen untuk memperbaiki kepentingan umum.
Ø Contoh
Jurnalisme Advokasi:
Sungguh malang menjadi guru di
Indonesia! Penghasilan mereka sedemikian kecil. Itu pun sering dipotong tanpa
alasan yang jelas. Aksi unjuk rasa ribuan guru untuk menuntut realisasi
anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hanya ditanggapi pemerintah
dalam bentuk janji-janji yang tidak pasti. Tragedi yang dialami para guru
semakin meninggi. Kejujuran mereka untuk mengungkap kebusukan justru membuahkan
pemecatan. Itulah yang dialami kalangan guru yang terhimpun dalam Komunitas Air
Mata Guru (KAMG). Sebanyak 27 dari 30 guru dalam organisasi KAMG yang
menyingkap kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2007 di Medan
dikenai sanksi. Sebagian besar dipecat dan yang lainnya dikurangi jam mengajarnya
oleh pihak sekolah tempat mereka mengabdi. KAMG menunjukkan bahwa kecurangan
itu melibatkan pihak sekolah dan dijalankan secara sistematis bersama Kantor
Diknas setempat (Media Indonesia, 20 Juli 2007). Peristiwa serupa terjadi di
Bandung. Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia
(FGII), yang juga adalah anggota tim pemantau UN 2007 dari Dewan Pendidikan
Kota Bandung, terancam sanksi penundaan kenaikan pangkat. Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) yang memiliki keharusan moral untuk melindungi para guru,
ironisnya, menunjukkan sikap masa bodoh. Gejala ini dapat disimak dari
pernyataan Mendiknas Bambang Sudibyo yang menegaskan, Depdiknas tidak akan
memberikan perlindungan kepada guru yang mengungkapkan adanya dugaan kecurangan
dalam pelaksanaan UN. Perlindungan hukum, tegas Mendiknas, adalah tugas
kepolisian.
Apakah yang dapat dijalankan
kalangan jurnalis ketika menghadapi peristiwa sosial semacam ini? Haruskah para
jurnalis sekadar berdiam diri dengan berdalih pada objektivitas pemberitaan?
Apakah jurnalis harus membela atau mengadvokasi para guru yang berada dalam
situasi dipinggirkan? Memang, jurnalisme dan advokasi merupakan dua hal yang
sangat berlainan. Jurnalisme adalah aktivitas mengumpulkan dan menyebarkan
fakta dalam bentuk berita. Kegiatan ini dilakukan jurnalis yang bekerja dalam
lembaga media massa. Advokasi merupakan tindakan pembelaan yang dijalankan
aktivis sosial untuk mendukung perjuangan mereka yang dilemahkan. Jurnalisme
menuntut wartawan mempraktikkan objektivitas. Advokasi menuntut aktivis
menjalankan dukungan berdasarkan pada subjektivitas. Dalam jurnalisme, KAMG
yang membongkar kecurangan pelaksanaan UN itu disebut sebagai ”peniup peluit”
(whistleblower). Mereka melaporkan ketidakberesan kepada pihak yang berwenang
supaya ada tindakan korektif untuk memperbaiki keadaan. Jika pihak yang
memiliki otoritas justru menyudutkan kedudukan mereka, dengan dalih
mencermarkan nama baik misalnya, selayaknya jurnalis mengadvokasi whistleblower
ini. Bukan untuk menciptakan sensasi atau menambah kontroversi jika jurnalis
melakukan advokasi. Tujuan jurnalis dalam kasus ini adalah membeberkan
peristiwa beraroma skandal yang menggerogoti dunia pendidikan.
5. Jurnalisme
Kolaborasi:
Jurnalisme Kolaborasi adalah
pengganti dari Jurnalisme Presisi. Jurnalisme Kolaborasi menjadi menarik karena
mengusung interaktif, akrab, dan dekat satu sama lain. Orang akan dengan mudah
mengeluarkan suaranya. Puluhan ribu orang di luar sana dapat membuat sesuatu
yang besar hanya dalam hitungan menit. Hasilnya tak kalah dahsyat dengan
besutan jurnalis profesional. Interaktivitas itu dapat dengan cepat menyebar
karena fasilitas blog yang menjamur. Dengan adanya blog, semua orang bisa
mencurahkan isi hatinya. Tanpa batas. Tanpa merasa perlu melanggar kaidah.
Bahkan kaidah jurnalistik sekalipun. Tak akan ada yang protes. Tak dapat
dielakkan adanya komentar, baik pro maupun kontra. Tetapi justru disanalah
indahnya kebersamaan jurnalisme kolaborasi. Tak perlu mengindahkan hal paling
penting dalam kaidah jurnalistik bernama validitas data. Jurnalisme presisi
mungkin akan tetap berharga di hadapan media massa tradisional. Pada jurnalisme
presisi, perkembangan jurnalisme memfokus pada kerja pencarian data. Arah kerja
jurnalistik membentuk ukuran ketepatan informasi empirik. Hasil liputan
ditujukan untuk mencapai kredibilitas bagi penginterpretasian masyarakat.
Mereka menargetkan akan informasi yang terukur. Kini, masyarakatlah yang akan
menentukan. Tetapi bisa dipastikan jurnalisme kolaborasi akan menempati garda
terdepan dalam peran eksplorasi ide dan emosi. Itulah yang diinginkan
masyarakat. Jadi kesimpulannya, Jurnalisme Kolaborasi adalah sistem jurnalis
baru dimana sumber informasinya diperoleh dari kolaborasi hasil pemikiran
masyarakat luas melalui dunia internet atau blog pribadi tiap orang.
Contoh
Jurnalisme Kolaborasi
BLOGGER MALAYSIA MENANGI PEMILU
2008
Setidaknya dua orang blogger
Malaysia berhasil memenangkan Pemilu 2008 di wilayahnya masing-masing. Tony Pua
Kiam Wee, yang bertarung memperebutkan kursi Parlemen di Petaling Jaya Utara,
Selangor, berhasil memperoleh suara sebanyak 37.851 dari total suara yang masuk
sebanyak 76.618. Perolehan suara Tony tersebut dua kali lipat dari perolehan
Datin Paduka Chew Mei Fun yang dicalonkan partai yang berkuasa, Barisan
Nasional. Sementara di daerah pemilihan Rembau, Negeri Sembilan, Jeff Oii Chuan
Aun berhasil meraup 30.493 suara, menggungguli Dr. Thor Teong Ghee dari Barisan
Nasional yang mendapatkan suara sebanyak 14.247. Kemenangan Tony Pua dan Jeff
Ooi ini tentu saja disambut gembira para pendukungnya, terutama para blogger
yang ramai-ramai mengucapkan selamat di blognya. Apa yang bisa ditarik dari
kemenangan tersebut? Meski bisa saja menyimpulkan bahwa popularitas mereka di
dunia blogospehere lah yang telah mendorong kemenangan tersebut, namun satu hal
yang pasti, mereka dengan cerdik telah memanfaatkan blog sebagai medium yang
pas untuk memuat dan menyampaikan gagasan-gagasannya, karena meskipun diawasi,
namun masih bisa lebih bebas dibanding media konvensional. Para blogger
tersebut tampaknya ingin membuktikan bahwa blogger bukanlah pengecut seperti
yang dikatakan Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia Azalina Othman, apalagi
pembohong seperti yang dikatakan pakar ini. Para blogger tersebut ingin
mengatakan bahwa apa yang disampaikan dalam blognya adalah bukan merupakan
kebohongan dan tidak ada identitas penulisnya yang disembunyikan. Sehingga jika
terdapat ketidakbenaran subtansi dalam blog, pembaca mestinya tahu kemana harus
memintakan penjelasan semestinya. Selain itu, para blogger yang terjun ke
politik tersebut juga menyadari sepenuhnya bahwa upaya membangun pertemanan di
dunia maya dapat ditindaklanjuti ke dunia nyata, melalui berbagai macam kopdar,
tanpa harus menjadi autis saat bertemu. Kalau kedua blogger Malaysia tersebut
telah menunjukkan efektifitas blog sebagai medium berpolitiknya, ditengah
kekangan pemerintahnya terhadap media massa konvensional, maka blogger
Indonesia tentunya dapat melakukan hal serupa. Bahkan mungkin lebih baik karena
media di Indonesia jauh lebih bebas. Karenanya jika terdapat blogger Indonesia
yang ingin berpolitik, meski sebelumnya telah memiliki profesi sendiri seperti
Dosen, Praktisi IT, Sutradara, Artis, Pengamat, Olahragawan, Ustad, Wartawan
dan sebagainya, sebaiknya profesional saja. Ketika akhirnya memutuskan terjun
ke dunia politik, jadilah politisi yang sungguhan alias benar-benar
profesional, bukan sekedar jadi politisi karena ada yang menawari. Dengan
keahlian dan latar belakang profesi yang dimilikinya, tentunya akan memudahkan
dalam menjalankan tugasnya saat terpilih sebagai pejabat politik, baik di
eksekutif maupun legislatif. Diharapkan, Kebijakan-kebijakan atau berbagai
peraturan yang dihasilkannya bisa lebih didasarkan pada nurani dan pertimbangan
profesionalisme.
6. Jurnalisme
Investigasi:
Jurnalisme Investigasi adalah
sebuah metode peliputan untuk menyibak kebenaran kasus atau peristiwa. Wartawan
investigasi dituntut agar mampu melihat celah pelanggaran, menelusurinya dengan
energi reportase yang besar, membuat hipotesis, menganalisis, dan pada akhirnya
menuliskan laporannya. Jurnalisme investigasi ada ketika terjadi penyimpangan
dalam suatu tatanan masyarakat. Pers punya peranan sangat penting untuk dapat
menginformasikan peristiwa yang menyimpang itu. Tidak berhenti sampai titik
ini, pers juga bisa melangkah jauh mengusut kesalahan, menemukan kebenaran, dan
mengadakan perubahan. Jurnalisme investigasi adalah sebuah paham yang sudah
lama muncul di Amerika Serikat pada abad ke-17. Genre ini merasuki media massa
di Indonesia kala Orde Baru. Media massa cetak yang pertama kali menggunakannya
adalah Harian Indonesia Raya, di bawah asuhan Mochtar Lubis. Kondisi politik
dan ekonomi suatu negara amat sangat mempengaruhi kemunculan dan pertumbuhan
jurnalisme investigasi.
Contoh
Jurnalisme Investigasi:
Sekelebat, pentungan mendarat tepat
di tubuh tikus berkumis panjang. Tak berdaya, tikus lalu dimasukan kedalam
ember hitam. Tempat semua tikus sawah dan got hasil tangkapan dikumpulkan.
Malam itu, Edi--bukan nama sebenarnya--tidak sedang membersihkan sawah dari
hama yang bernama tikus. Edi juga tidak berburu tikus got untuk membersihkan
lingkungan
disekitar rumah. Dia Berburu tikus
untuk mengoplosnya dengan daging sapi. Kabarnya, daging-daging itu dipersiapkan
untuk membuat BAKSO. BENARKAH? Apakah Edi benar-benar tega mencampur daging
sapi dengan daging tikus? Atau cerita diatas hanya isapan jempol belaka? Banyak
kisah, dongeng, isu, gosip tentang bakso tikus yang beredar di masyarakat. Tim
investigasi REPORTASE Trans TV menelusuri keberadaan bakso tikus ini. Surprise
! Kami menemukan praktik penjualan bakso tikus. Bukan hanya itu, dipasaran
ternyata bakso juga tercampur dengan 6 zat kimia mematikan. termasuk bahan
boraks alias bahan baku deterjen dan lem kayu. Mual? Jangan dulu ! Sebab tidak
semua bakso yang beredar mengandung boraks apalagi daging tikus. Lalu apa
perbedaannnya? Dimana dijualnya?
Wartawan Reportase Investigasi
Trans TV yang menyelidiki tentang masalah bakso tikus ini sedang menjalankan
sistem jurnalisme Investigasi. Dimana narasumber harus disembunyikan
identitasnya, harus ada kamera tersembunyi, alat perekam tersembunyi, dan lain
sebagainya. Tujuannya agar masyarakat luas tahu tentang kebenaran dan pada
akhirnya dapat lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi bakso yang akan mereka
makan.
kereeen..
BalasHapus