Keadaan perekonomian di India pada abad ke 6 SM dalam masa transisi dari sistem
perekonomian yang menitik-beratkan pada sektor pertanian ke sistem perekonomian
yang menitik-beratkan pada sektor perdagangan. Bisa dikatakan bahwa kedua
sektor, yaitu negara (pemerintah) dan swasta, memegang peranan yang cukup
penting dalam usaha menyediakan lapangan kerja dan mengembangkan kesejahteraan
rakyat banyak. Pada zaman Sang Buddha, meskipun kedua sektor tersebut memegang
peranan penting dalam pengembangan ekonomi, tetapi pengaruh sektor swasta
adalah cukup besar. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya beberapa multi-milioner
(mahasetthi), seperti Visakha, Anathapindika, dan sebagainya, yang
menguasai sebagian perekonomian yang ada pada waktu itu. Pada umumnya, tanah
yang ada dikuasai oleh para raja atau pemimpin yang berkuasa, sedangkan perdagangan
dikuasai oleh sektor swasta.
Tentang
jenis-jenis pekerjaan yang ada pada waktu itu bisa dilihat dari Kitab Jataka
dan beberapa sutta seperti Tamo-tama Parayana Sutta, Kutadanta Sutta, dan
sebagainya. Menurut sumber-sumber yang ada, mereka yang bekerja di bawah raja
bisa dikelompokkan menjadi 25 kelompok yang masing-masing mempunyai tugas yang
berbeda-beda. Di antaranya para prajurit, tukang masak, tukang potong rambut,
pencuci, sekretaris, pembuat barang-barang kerajinan, akuntan, penjaga gajah, dan
sebagainya. Sedangkan masyarakat yang bekerja diluar kerajaan bisa dibagi
menjadi 18 kelompok, seperti tukang kayu, pandai besi, tukang batu, pengrajin
kulit, pot, gading, tukang jagal, pemburu binatang, pelaut, dan masyarakat yang
bekerja dalam bidang transportasi, perdagangan, dan sebagainya.
Pada abad
ke 6 SM, perdagangan barter sudah mulai ditinggalkan dan perdagangan dengan
cara menilai barang dengan uang sudah mulai populer. Hampir semua transaksi
perdagangan dilakukan dengan dengan alat pembayaran yang disebut dengan kahapana,
sebuah logam (perunggu) yang beratnya sekitar 146 biji padi. Selain itu para
pedagang menggunakan surat kuasa (seperti cek) yang bisa digunakan sebagai alat
pembayaran. Demikian juga disebutkan bahwa sistem perbankan sudah dikenal.
Mereka menggunakan meminjamkan uang kepada mereka yang memerlukan, dan interest
(bunganya) ditentukan oleh hukum yang ada pada waktu itu. Sebagai contohnya,
menurut hukum tersebut jika seseorang menabung, maka dia akan mendapatkan bunga
dengan rate of interest 18 % per tahun.
Tinjauan tentang materi atau kekayaan
Dari apa yang telah kita bahas di atas, kita dapat mempunyai gambaran bahwa definisi ekonomi adalah sangat kompleks. Dalam pengertian yang luas, ekonomi menyangkut semua aktivitas untuk mendapatkan kekayaan dan dalam pengertian yang lebih sempit, ekonomi mempelajari tentang motif yang digunakan oleh setiap orang untuk melindungi dan memuaskan segala keinginannya. Dalam hal ini, ekonomi sebagai suatu disiplin ilmu mempelajari tentang beberapa sebab di mana adanya ketergantungan materi dan kesejahteraan manusia dan juga beberapa sebab yang mempengaruhi dan mengontrol produksi barang-barang kebutuhan, cara penjualannya, dan sebagainya.
Dari apa yang telah kita bahas di atas, kita dapat mempunyai gambaran bahwa definisi ekonomi adalah sangat kompleks. Dalam pengertian yang luas, ekonomi menyangkut semua aktivitas untuk mendapatkan kekayaan dan dalam pengertian yang lebih sempit, ekonomi mempelajari tentang motif yang digunakan oleh setiap orang untuk melindungi dan memuaskan segala keinginannya. Dalam hal ini, ekonomi sebagai suatu disiplin ilmu mempelajari tentang beberapa sebab di mana adanya ketergantungan materi dan kesejahteraan manusia dan juga beberapa sebab yang mempengaruhi dan mengontrol produksi barang-barang kebutuhan, cara penjualannya, dan sebagainya.
Dikarenakan
adanya keterkaitan semua aktivitas dan motif manusia dalam semua aspek ekonomi,
maka ekonomi, menurut pandangan Agama Buddha, mempunyai hubungan yang erat
dengan ilmu-ilmu etika. Pada dasarnya Agama Buddha adalah agama yang
mementingkan etika dan perkembangan karakter individu. Menurut Agama Buddha,
semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia yang bervariasi, pada akhirnya
harus ditujukan pada perkembangan moral dan perkembangan batin. Perlu diingat
bahwa Agama Buddha tidak menentang manusia mencari kekayaan untuk memenuhi
kebutuhannya. Sang Buddha dalam beberapa khotbah-Nya menerangkan bahwa materi
adalah penting dalam kehidupan kita. Tetapi materi bukanlah satu-satunya tujuan
yang harus dikejar-kejar dengan semua cara; materi sebaiknya digunakan sebagai
sarana penunjang untuk mendapatkan kebahagiaan spiritual yang lebih tinggi.
Jadi, materi atau kekayaan bukanlah satu-satunya tujuan, melainkan sebagai
sarana untuk menciptakan kondisi yang menunjang kehidupan spiritual seseorang.
Hal ini bisa kita lihat dari kisah yang menceritakan bahwa Sang Buddha tidak
mengajarkan Dhamma kepada orang yang kelaparan. Pada suatu ketika Sang Buddha
menerima murid yang datang dari jauh, yang kelihatan lelah, sehingga Beliau
memerintahkan kepada para Bhikkhu untuk memberi makanan kepada orang tersebut,
baru setelah makan Beliau mengajarkan Dhamma. Kelaparan sendiri dikategorikan
sebagai salah satu penyakit (dalidda paramam roga).
Jika
pengumpulan kekayaan hanya merupakan suatu pekerjaan yang ditujukan untuk
kepentingan diri sendiri, maka hasilnya sering kita dapatkan ketidak-puasan.
Kita seharusnya menganggap kekayaan sebagai sesuatu untuk dinikmati dengan
orang yang lain. Seandainya manusia dapat menyebarkan cinta kasihnya kepada
mahkluk lain, tanpa adanya anggapan tentang perbedaan ras, warna kulit, dan
sebagainya, maka dia akan mampu mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar. Dalam
hal ini kebahagiaan bukan datang dari tanha, kebahagiaan yang diliputi oleh self-centred
idea (untuk dirinya sendiri), tetapi hal tersebut merupakan kebahagiaan
yang muncul dari chanda, kebahagiaan yang muncul dengan harapan orang
lain juga ikut bahagia. Hal ini sangat penting untuk dijadikan pedoman untuk
melaksanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan ekonomi. Sebaiknya semua
produksi ditujukan untuk kebahagiaan orang banyak, bukan untuk tujuan pribadi
tanpa mementingkan kepentingan masyarakat.
Kata STQ
= artha (Sansekerta) dapat diartikan sebagai barang, uang, kekayaan,
dan lain-lain. Dalam bahasa Pali kata attha mempunyai kedekatan arti
dengan kata artha Namun kata attha dalam bahasa Pali mempunyai
beberapa arti, salah satunya adalah "sesuatu yang didapat"; tentunya
kesejahteraan, baik kesejahteraan fisik (dalam arti kekayaan) dan dalam
pengertian spiritual, supreme arahantship. Selain itu, kata attha
bisa diartikan sebagai sukses, dan pengertiannya dapat dilihat dari dua level,
yaitu: sukses yang berhubungan dengan beberapa aspek ekonomi yang merujuk
kepada kesejahteraan materi dan sukses dalam pengertian uttamattha atau
kesuksesan tertinggi dimana perkembangan bathin seseorang, setelah melalui
praktik dan meditasi yang tekun, bisa merealisasi Nibbana.
Menurut
Agama Buddha, materi itu sendiri tidak bisa dianggap jahat atau sebaliknya.
Memang pada kenyataannya uang (materi) bisa menjadi sumber pertengkaran,
pertikaian dan pembunuhan, sehingga banyak orang berpendapat "uang adalah
sumber atau akar dari segala kejahatan" (money is the root of all evils).
Tetapi menurut pandangan Agama Buddha, materi bersifat netral dan tergantung
pada manusia yang memiliki dan menggunakannya. Jika digunakan untuk
kepentingan-kepentingan keagamaan, atau sosial - misalnya untuk membantu
orang-orang yang memerlukan, maka materi akan membuahkan manfaat, baik dalam
kehidupan sekarang dan dalam kehidupan yang akan datang. Sebaliknya jika materi
digunakan untuk kepentingan pemuasan nafsu indera yang berlebihan, maka materi
akan membawa kebahagiaan sementara saja.
Agama
Buddha tidak pernah melarang pengikutnya untuk mengumpulkan kekayaan (materi),
tetapi Sang Buddha selalu mengajarkan bahwa dalam mengumpulkan kekayaan,
hendaknya seseorang melakukannya dengan jalan yang benar. Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa memiliki materi atau kekayaan merupakan salah satu sumber
kebahagiaan (atthi sukha). Demikian juga akan muncul kebahagiaan jika
seseorang dapat menikmati apa yang telah diperolehnya (bhoga sukha).
Jika seseorang bekerja keras dan dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari, maka
dia tidak akan jatuh ke dalam hutang (anana sukha). Ketiga macam
kebahagiaan tersebut berkaitan erat dengan materi. Lebih lanjut Sang Buddha
menerangkan kebahagiaan yang ke empat, yaitu: anavajja sukha
(kebahagiaan yang didapat jika seseorang merasa bahwa dirinya telah berbuat
sesuai dengan Dhamma). Dalam hal ini Sang Buddha tidak hanya mengajarkan
bagaimana untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia ini, tetapi juga mengajarkan
cara-cara yang harus dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan Dhamma, agar
setelah ia meninggal bisa terlahir di alam-alam bahagia. Dalam Kitab Suci
Tipitaka, tidak disebutkan teori-teori ekonomi secara comprehensif, tetapi
Kitab Suci Tipitaka menerangkan beberapa pedoman atau petunjuk yang sangat
penting dalam hubungannya dengan ekonomi. Meskipun Kitab Suci Tipitaka memuat
nasihat-nasihat yang bersifat kuno, lebih dari 2.500 tahun lalu, tetapi
nasihat-nasihat tersebut mempunyai relevansi dengan sebagian besar dari
teori-teori yang terdapat dalam ekonomi modern.
Pengalaman
melalui pembuktian merupakan ciri khas pendekatan yang digunakan dalam Agama
Buddha untuk melihat suatu masalah, termasuk beberapa masalah yang berhubungan
dengan ekonomi. Melalui pendekatan empiris inilah Sang Buddha mengajarkan bahwa
"semua mahluk hidup karena makanan" atau "sabbe satta
aharatthitika". Menyadari akan hal ini, Sang Buddha mengetahui bahwa
setiap orang harus menempuh beberapa cara yang diperlukan untuk memperoleh
makanan. Dalam hal ini Sang Buddha menganjurkan beberapa jalan dan petunjuk
yang sebaiknya dijalankan oleh seseorang sesuai dengan norma-norma kemoralan.
Misalnya, Sang Buddha menerangkan tentang norma-norma etika, seperti hukum
kamma untuk mengontrol dan membimbing manusia dalam menjalankan kehidupannya
sehari-hari. Hal ini sangat berguna, karena pada kenyataanya, keinginan manusia
akan pemuasan nafsu-nafsu indera adalah tidak terbatas. Tidak jarang manusia
menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekayaan, sehingga tidak jarang
terjadi konflik, kebencian, pembunuhan dan sebagainya. Dengan diterangkan
ajaran tentang kamma (hukum perbuatan), maka seseorang menjadi lebih percaya
akan dirinya sendiri, dan tentunya dalam dunia perekonomian akan memberi
pengaruh pada produksi, distribusi, konsumsi, dan semua aktivitas yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar